Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Apakah Hedonisme Membawa Kita pada Kebahagiaan?

30 Mei 2021   13:18 Diperbarui: 30 Mei 2021   13:32 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hedonisme adalah lingkaran setan yang datang sebagai tamu tak dikenal | Ilustrasi oleh Free-Photos via Pixabay

Tanpa melebih-lebihkan, kita adalah generasi paling hedonis sepanjang peradaban manusia. Alasannya sederhana: sumber daya pemenuhan kebutuhan semakin bervariasi, maka lebih banyak pula “kesenangan” yang bisa kita kejar melebihi masa-masa sebelumnya.

Bahkan nyaris semua “kesenangan” itu sudah ada di ujung jari kita. Belum pernah terjadi dalam sejarah di mana umat manusia dilayani oleh berbagai macam keinstanan yang memanjakan. Ini bagus dan buruk, seperti dua sisi koin di meja perjudian.

Meskipun banyak orang yang menganut paham hedonisme, bukan berarti kita dapat menyetujui gaya hidup mereka. Kebenaran tidak bisa di-voting. Dalam beberapa kasus, kebenaran bertengger di sisi minoritas.

Dan merujuk pada paham hedonisme, sepertinya kita melewatkan sisi gelap darinya. Tapi daripada mengklaim kebenaran pada satu sisi, lebih baik kita selami tetek bengek dari gaya hidup aliran hedonisme ini.

Apa itu hedonisme?

Tidak ada gunanya meributkan hedonisme jika kita punya pandangan yang berbeda dalam segi definisi. Jadi mari kita sepakati dulu apa itu hedonisme.

Masalah hedonisme telah menjadi objek pemikiran para filosof Yunani Kuno. Dasar pertanyaannya dipelopori oleh Socrates. Dia bertanya, “Apa yang harus dilakukan dengan hidup?” 

Kemudian muncullah berbagai jawaban dari para filosof setelahnya, di mana mayoritas jawaban merujuk pada pengejaran kesenangan.

Karenanya tidaklah mudah untuk mendefinisikan hedonisme secara pasti. Ada yang mengkonotasikannya secara negatif, tetapi ada juga yang mengarahkannya pada pengertian positif. Jadi saya ingin seadil mungkin di sini.

Istilah hedonisme itu sendiri merupakan serapan dari bahasa Yunani yang berarti kesenangan. Maka secara garis besar, hedonisme adalah pandangan untuk berusaha memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit.

Lebih sederhananya lagi, hedonisme adalah cara pandang seseorang bahwa hidup hanya untuk mencari kesenangan. Orang-orang yang hedonis cenderung menghindari beban dan tekanan hidup dengan cara bersenang-senang sebanyak yang mereka bisa.

Di permukaannya saja kita sudah bisa merasakan dilema dari hedonisme. Secara definisi, tentulah benar bahwa kehidupan tidak untuk mengejar penderitaan, melainkan mencari-cari kesenangan.

Waktu kita dalam hidup ini terbatas dan bisa berakhir kapan saja. Maka cukup masuk akal bahwa kita harus memanjakan diri dengan kesenangan, petualangan, dan pengalaman sebanyak yang kita bisa.

Tapi dalam praktiknya, hedonisme adalah ketiadaan kepuasan yang berakhir dengan kejenuhan hidup. Kenyataannya, pencarian kesenangan yang tiada ujung justru semakin menegakkan fakta bahwa kita tidak bahagia dan tidak menikmati kehidupan.

Dengan berbenturannya dua sisi ini, saya tidak akan mengklaim kebenaran, melainkan mencari bagaimana yang bijaksana. Sungguh sederhana untuk keluar dari dilematik jika kita mendahulukan kebijaksanaan sebelum kebenaran.

Hedonic Treadmill

Orang-orang yang mengutuk hedonisme biasanya mengaitkan gaya hidup ini dengan pemborosan, kerakusan, ketidakpuasan, dan materialistik. Sekilas memang masuk akal. Dengan pemahaman bahwa hidup untuk bersenang-senang, mereka akan melakukan apa pun yang mereka anggap sebagai non-penderitaan.

Namun, sesuatu yang masuk akal tidak selalu berarti baik. Dalam jangka panjang, hedonisme menghancurkan kita, memperbudak kita, bahkan mempermainkan kita. Inilah yang kemudian mempopulerkan istilah “Hedonic Treadmill”.

Ide dari Hedonic Treadmill adalah bahwa kita selalu bekerja keras untuk mengubah situasi hidup kita, namun sebenarnya kita tidak pernah merasa sangat berbeda. Kita selalu berlari, berlari, dan berlari, tapi melupakan pijakan kita sendiri yang berada di atas treadmill.

Bayangkan pada suatu hari Anda memenangkan lotre sebesar 2 milyar rupiah. Dengan uang sebanyak itu, Anda menjadi seorang hedonis. Pertama-tama Anda membeli mobil Ferrari merah mawar.

Alih-alih merasa puas, sekarang Anda ingin pergi berlibur ke pantai sembari memamerkan mobil itu kepada seluruh dunia. Sesampainya di pantai, udara begitu menyengat dan Anda memesan segelas anggur. Dalam keadaan sempoyongan, Anda menyewa seorang gadis. Ah, lanjutkan sendiri kisah itu.

Meskipun terbilang contoh yang ekstrem, tapi saya membuatnya jelas tentang bagaimana orang-orang hedonis tidak menemukan kepuasan. Seluruh kehidupan mereka didedikasikan pada pengejaran kesenangan yang terkadang rela mengorbankan apa pun.

Pada kenyataannya, mereka selalu mendapati kondisi serupa: kondisi sebelum mereka mendapatkan kesenangan itu. Ketika Anda memenangkan lotre tersebut, pada akhirnya Anda akan kembali pada suasana hati yang persis serupa seperti sebelum Anda memenangkan lotre.

Ini merupakan lingkaran setan yang tidak disadari kebanyakan orang. Mereka kira pengejaran kesenangan melahirkan kebahagiaan, namun kebahagiaan itu justru semakin menjauh dari mereka. Tidaklah tepat jika Anda mengejar kupu-kupu.

Hedonisme adalah lingkaran setan yang datang sebagai tamu tak dikenal.

Katakanlah bahwa kebahagiaan itu bisa diukur dengan angka. Jika sekarang kebahagiaan saya berada di angka 6, maka tidak peduli saya berhasil meningkatkannya menjadi angka 9, pada akhirnya tetaplah sama: saya akan kembali ke angka 6.

Dan ini ilusional. Dengan konsep seperti itu, kita tidak dapat menemukan apa yang dicari-cari oleh seluruh umat manusia, yakni kebahagiaan sejati. Lantas apakah memang demikian bahwa kebahagiaan sejati itu tidak ada?

Tentu ada. Itulah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini.

Setidaknya sekarang kita sampai pada kesimpulan awal bahwa hedonisme bukanlah cara untuk mendapatkan kebahagiaan sejati. Hedonisme hanya menjebak kita pada Hedonic Treadmill: suatu pengejaran yang tiada ujung dan hanya melahirkan ketidakpuasan yang mengerikan.

Dan Hedonic Treadmill inilah yang selanjutnya membawa kita pada apa yang saya sebut sebagai Ironi Hedonisme.

Ironi hedonisme

Secara gamblangnya, ironi hedonisme ini merupakan bentuk kemirisan saya terhadap salah kaprah hedonisme. Karena pada dasarnya, sesuatu yang terlanjur tersebar luas di masyarakat sering disalahpahami esensinya.

Ironi hedonisme pertama adalah kenestapaan dari orang-orang hedonis yang menyalahartikan konsep “kesenangan” dan konsep “kebahagiaan”. Saya tidak menyamakan arti dari kesenangan dan kebahagiaan untuk membedakan antara yang dangkal dan yang sejati.

Hedonisme menjunjung tinggi kesenangan. Dan apa yang disebut kesenangan adalah kegembiraan yang melekat pada selain diri sendiri. Artinya bersifat eksternal. Dan karena bersifat eksternal, maka kesenangan juga bersifat ketergantungan.

Sekarang saya ambil contoh sederhana. Barangkali Anda suka pergi ke klub malam. Karena kegembiraan itu tidak melekat pada diri Anda sendiri, maka pergi ke klub malam tergolong sebagai kesenangan.

Tapi bagi saya, pergi ke klub malam tidak mendatangkan kegembiraan. Justru sebaliknya, saya akan tersiksa oleh rasa bersalah, sebab paradigma saya menolak kegembiraan semacam itu.

Inilah perbedaan kontras antara kesenangan dan kebahagiaan: kesenangan bergantung kepada subjeknya. Mungkin “iya” bagi Anda, tapi “tidak” bagi saya. Dan karenanya jika kita mencari kesenangan sepanjang hidup kita, tidak akan ada kesejatian yang menanti kita.

Lain halnya dengan kebahagiaan. Ia bersifat internal; sesuatu yang hanya lahir dari dalam diri kita sendiri. Maka kebahagiaan tidak bersifat ketergantungan, setiap individu punya kesempatan yang sama dan merata.

Apa pun situasi yang menimpa kita, kebahagiaan tetaplah cahaya yang menjadi pilihan kita. Sebab ia bersemayam manis di dalam diri kita, tidak bergantung pada segala hal di luar diri kita sendiri.

Contoh paling gamblangnya: gagal membangun bisnis tidak melahirkan kesenangan, tapi sangat mungkin untuk melahirkan kebahagiaan. Dengan kegagalan tersebut, kita punya kesempatan untuk belajar dan meningkatkan peluang keberhasilan di waktu mendatang. Dan kita bahagia.

Ironi hedonisme kedua adalah mengira kebahagiaan sebagai tujuan, padahal kenyataannya merupakan efek samping.

Mereka yang hedonis kerap kali menjadikan pencapaian-pencapaian mereka sebagai bentuk pengejaran kebahagiaan, padahal yang mereka cari ada di depan hidung mereka. Ini seperti kita mencari-cari korek api di kolong meja, padahal dari awal kita selalu menyimpannya di dalam saku celana.

Dalam kata-kata Viktor Frankl, “Kebahagiaan tidak bisa dikejar; itu harus terjadi, dan itu hanya terjadi sebagai efek samping yang tidak diinginkan dari dedikasi pribadi seseorang untuk tujuan yang lebih besar dari diri sendiri ...”

Budaya kita telah mengajarkan bahwa usaha keras yang tiada habis-habisnya merupakan cara kita mengejar kebahagiaan. Tapi tidak, kebahagiaan tidak bekerja seperti itu. Kebahagiaan tidak melekat pada pengejaran ke luar, melainkan ke dalam diri sendiri.

Bukan berarti kita tidak perlu bekerja keras. Justru sebaliknya, kita bisa menjalani hidup kita sebagaimana adanya tanpa harus mengharapkan kebahagiaan. Kebahagiaan itu niscaya; ia akan terjadi ketika Anda menghendakinya.

Sebab setiap orang punya kendali atas dirinya, maka kebahagiaan adalah pilihan.

Sayangnya konsep hedonisme yang dianut banyak orang menyangkal fakta sederhana ini. Mereka kira menjadi bahagia itu sulit, padahal kesulitan itu adalah mengejar kesenangan dan bukannya kebahagiaan.

Seperti kata Stuart Mill dalam otobiografinya, “Saya berpikir bahwa kebahagiaan seseorang hanya dapat dicapai dengan tidak menjadikannya sebagai tujuan langsung ... Dengan mengarahkan pada sesuatu yang lain, mereka menemukan kebahagiaan di sepanjang jalan ...”

Ironi hedonisme ketiga adalah penyangkalan bahwa Tuhan Maha Adil. Ah, mungkin saya berpikir cukup jauh hingga ke titik ini, tapi alangkah indahnya seorang penulis tidak menyembunyikan kebenaran.

Secara tidak langsung, percaya akan konsep hedonisme—bahwa kebahagiaan hanya bisa didapatkan dari usaha pengejaran materialistik—sama dengan menyangkal sifat Tuhan Yang Maha Adil.

Sekarang saya luruskan sejenak. Orang-orang hedonis percaya bahwa kebahagiaan harus selalu dikejar lewat pencarian di luar diri sendiri. Jika demikian adanya, mereka telah menyalahi sifat Tuhan Yang Maha Adil.

Bayangkan orang-orang yang sejak lahir dalam kondisi miskin. Mereka tidak akan punya upaya yang kuat untuk menjadi bahagia, sebab jangkauan mereka untuk meraih kekayaan materi sangatlah minim. Duh betapa malangnya!

Dan bayangkan juga orang-orang yang difabel sejak lahir. Mereka lebih tidak berdaya daripada orang miskin.

Jadi apakah mungkin orang-orang seperti mereka mendapatkan kebahagiaan? Jika diukur dalam konsep hedonisme, mereka tidak punya kesempatan besar untuk menjadi bahagia. Betapa mengerikannya andai kata kemungkinan itu adalah kenyataan.

Pada intinya, Pembaca, kita tidak perlu berusaha habis-habisan untuk menjadi bahagia. Kebahagiaan itu selalu ada dalam jangkauan kita, sebab ia ada dalam diri kita.

Seperti kata Viktor Frankl, kebahagiaan adalah efek samping. Saya tambahkan sedikit, “Segala pengalaman punya peluang untuk berefek samping pada kebahagiaan.”

Adalah sangat mungkin untuk menjadi bahagia dalam setiap penderitaan. Justru tanpa penderitaan, semua kebahagiaan kita tidaklah berarti apa-apa. Segala sesuatunya selalu ditakdirkan untuk menjadi seimbang.

Maka sebagai penutup, saya ingin menyampaikan satu poin penting lagi.

Hedonisme akan terasa menyenangkan dan bermanfaat bagi mereka yang tidak tahu akan makna kehidupan. Ketika mereka kehilangan arti kehidupan, mereka menambal kekosongan itu dengan segala kesenangan materi yang ujung-ujungnya adalah ketidakpuasan yang mengerikan.

Mereka mengisi kehidupan dengan pengejaran yang tiada akhir, hingga mereka mengabaikan fakta fundamental dari kehidupan, bahwa misteri kematian selalu membayangi. Yang paling menyedihkan adalah ketika mereka tiba-tiba tercerabut dari kesenangan yang memabukkan.

Maka (satu-satunya) cara untuk terlepas dari hedonisme adalah dengan menyadari akan makna sejati dari kehidupan. Dalam kata-kata Nietzsche, “Dia yang memiliki alasan untuk hidup dapat menanggung hampir semua hal.”

Dan kini timbul pertanyaan baru: apa makna kehidupan? Ah, saya harus menuliskannya dalam tulisan khusus. Atau kita bisa membuka diskusi tentang ini. Pastinya diskusi semacam ini akan berguna bagi semua orang, bahkan menyelamatkan kehidupan mereka.

Tapi pada akhirnya, saya tidak begitu adil dalam menguraikan konsep hedonisme. Mungkin saya terlalu memihak, tapi saya pastikan bahwa saya sangat jujur di sini. Jadi terima saja tulisan ini sebagai opini dan bukannya klaim kebenaran. Sebilah pisau tetap bermanfaat jika dipegang seorang koki.

Kita harus berhenti berkata mencari kesenangan dan mulai menjadi bahagia sebagaimana kehidupan adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun