Fenomena ini menggambarkan pergeseran pola konsumsi masyarakat kelas menengah. Ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, belanja untuk gaya hidup, kesehatan, dan pendidikan meningkat. Di satu sisi, ini sinyal positif dari membaiknya kesejahteraan. Namun, di sisi lain, disparitas dengan kelompok masyarakat bawah semakin nyata.
Tantangan ke Depan
Inflasi September yang terkendali jangan sampai membuat kita abai terhadap kerentanan. Ada tiga catatan penting:
- Ketahanan pangan masih rapuh. Fluktuasi harga beras dan cabai menunjukkan perlunya penguatan produksi dalam negeri dan distribusi yang efisien.
- Disparitas wilayah lebar. Harga pangan di kota besar mungkin terkendali, tetapi di daerah terpencil bisa melonjak lebih tinggi.
- Daya beli kelompok bawah menurun. Sekecil apa pun kenaikan harga pangan akan langsung menggerus dompet rumah tangga miskin.
Inflasi Rakyat vs Inflasi Resmi
Inflasi resmi September 2025 memang rendah, tetapi inflasi rakyat yakni gejolak harga yang benar-benar dirasakan di pasar tradisional, sering kali berbeda ceritanya. Angka 2,65 persen mungkin membuat pemerintah optimistis, tetapi di warung beras dan pasar sayur, rakyat tetap harus berhitung ketat, apalagi buat ibu ibu yang sering belanja di pasar.
Pertanyaan "apa kabar dompet rakyat?" adalah pengingat bahwa pertumbuhan dan stabilitas makro harus selalu dihubungkan dengan pengalaman sehari-hari masyarakat. Inflasi yang terkendali tidak cukup, yang lebih penting adalah memastikan harga pangan terjangkau, distribusi merata, dan daya beli rakyat terjaga.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI