Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sastra Siber Ibarat Kopi Hitam Gelas Plastik Seharga Tiga Ribu Rupiah

27 Juni 2021   00:04 Diperbarui: 30 Mei 2023   10:53 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angkatan 60 sampai 70an ditandai dengan terbitnya majalah sastra bernama Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd.
Angkatan 80-an ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T, Ayu Utami, dan Oka Rusmini.

Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra-puisi, cerpen, dan novel-pada saat itu.

Angkatan 2000 menjadi periode yang tercatat masih terus berjalan hingga kini. Seperti mengulang tema-tema sebelumnya, pada angkatan ini banyak karya sastra yang lebih bervariasi. Penulis yang terkenal dalam angkatan ini salah satunya ialah Andrea Hirata. Pada era ini pula istilah sastra siber muncul. Medy Loekito menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas munculnya istilah sastra siber. Ia membuat lama sastra siber dengan nama www.cybersastra.net yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi.

Mengenal Sastra Siber

Bagi sebagian pengamat munculnya sastra siber tidak dibarengi dengan penemuan bentuk baru. Sehingga hal-hal yang muncul di atas menjadi ancaman bagi kesusastraan kita. Ancaman yang dimaksud adalah menurunnya kualitas referensi bacaan. Kemudahan yang ditawarkan menjadikan kegiatan menulis menjadi hal yang mudah. Menulis tidak lagi membutuhkan keberanian seperti yang dikatakan Pramudya Ananta Toer, melaikan sebuah kegiatan yang sangat ringan.  Maka dalam tulisan kali ini, kita akan berasama-sama melihat pakem yang merunjuk kepada pengertian sastra dan siber itu sendiri.

Sastra adalah sebuah karangan fiksi yang bersifat imajinatif baik lisan atau pun tulisan. Sastra menggunakan bahasa sebagai wahana untuk menyampaikan seni bercerita. Dari bahasa sansekerta sendiri, sastra memiliki arti sebuah teks yang memiliki intruksi, ajaran atau pedoman. Di dalam kesusastraan Indonesia, sastra dapat kita jumpai dalam bentuk prosa, puisi, sandiwara atau naskah drama, dan novel atau prosa panjang.

Sementara istilah siber berasal dari bahasa Inggris asal katanya cyber, sebagai sesuatu yang berhubungan dengan sistem komputer, pemrograman, dan alat jaringan. Bentuk ciber secara kasar dapat kita lihat dalam sebuah bentuk logaritma yang muncul pada layar komputer. Biasanya berbentuk kode-kode unik yang sulit dibaca dengan pemahaman bahasa.

Dari kedua pengertian di atas penulis masih sulit untuk menemukan point penting yang terlupakan dalam penamaan sastra siber. Namun jika kita melihat pengertian sastra siber itu sendiri adalah sebuah bentuk karya sastra yang ditulis dan dipublikasikan melalui siber. Sampai sini, pertanyaan tentang sastra siber masih berlanjut. Jika semua sastra yang ditulis pada siber dan dipublikasikan melalui siber disebut sastra siber, lalu bagai mana dengan sastra lisan yang kemudian ditulis kedalam bentuk aksara.

Sastra lisan memang mengandung bahasa tulis, sehingga chiri khas sastra lisan tidak dapat berubah meskipun telah beralih ke media tulis. Tapi kenapa pengertian tentang sastra siber di atas terkesan bahwa siber bukanlah sebuah media, melainkan ciri khas yang menandai sebuah preode baru. Padahal bentuk dari pada sastra sebelumnya masih sama, tidak ada perubahan sama sekali. Pembedanya hanya ditulis dan dipublikasikan di dalam siber.

Jika media mempengaruhi sebuah preode kesusastraan, kenapa maraknya puisi yang tertulis pada batu atau dinding tidak disebut sebagai sastra batu atau sastra dinding. Bahkan kita tidak menyebut sebuah preode dinamakan sebagai preode sastra tulis. Malainkan ditandai dengan munculnya bentuk-bentuk di dalam tubuh sebuah karya sastra yang baru. Bukan media yang mendukung karya satra itu sendiri.

Jika katagori media memunculkan adanya preode kesusastraan tulis, maka yang terjadi pada sastra siber adalah sastra tulis juga. Karena kita masih menemukan bentuk huruf, dan rangkaian kata yang sengaja dibuat untuk menudukung komunikasi bahasa seperti pada sastra tulis. Begitu halnya dengan sastra yang ditulis pada kertas, batu, dinding, atau di manapun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun