Kasus tambang nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, menjadi cermin buram tata kelola pertambangan di Indonesia. Perusahaan pemegang izin resmi justru berhadapan dengan kontraktor nakal yang melakukan berbagai penyimpangan. Manipulasi dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), penjualan ore ilegal, hingga ketiadaan izin pinjam pakai kawasan hutan membuat negara mengalami kerugian besar, ditaksir sekitar Rp 5,7 triliun. Namun kerugian paling nyata justru ditanggung masyarakat lokal yang harus hidup dengan laut tercemar, tanah rusak, dan lingkungan hancur.
Kepentingan Publik yang Terabaikan
Masyarakat sekitar tambang adalah pihak pertama yang merasakan dampak buruk aktivitas tersebut. Nelayan kehilangan hasil tangkapan karena laut tercemar, petani kesulitan mengolah tanah yang rusak, dan infrastruktur desa seperti jalan hancur tanpa ada perbaikan. Minimnya program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) memperparah keadaan. Padahal, undang-undang sudah mengamanatkan hak masyarakat untuk mendapat informasi, dilibatkan dalam pengelolaan lingkungan, serta memperoleh manfaat dari kegiatan industri.
Lemahnya Akuntabilitas
Kasus Mandiodo juga membuka praktik manipulasi dokumen dan permainan di balik meja. Salah satunya adalah penggunaan dokumen RKAB oleh pihak yang tidak berwenang untuk melegalkan penjualan ore. Dugaan keterlibatan pejabat semakin memperlihatkan bagaimana praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih mengakar dalam sektor pertambangan. Alih-alih menjadi sumber devisa, justru yang muncul adalah kerugian negara dan hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga pengawas.
Kepastian Hukum yang Kabur
Masalah lain yang mengemuka adalah tumpang tindih izin. Perusahaan pemegang izin resmi harus berhadapan dengan kontraktor yang menjual ore secara mandiri. Situasi semakin rumit karena di wilayah yang sama terdapat 11 IUP swasta lain. Padahal, undang-undang dengan tegas menyebutkan satu wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) hanya bisa diberikan kepada satu badan usaha. Tumpang tindih perizinan ini menunjukkan adanya maladministrasi sekaligus menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan semua pihak, terutama masyarakat.
Ketidakadilan Sosial dan Lingkungan
Keuntungan besar yang diraup perusahaan berbanding terbalik dengan kerugian yang ditanggung warga sekitar. Kerusakan lingkungan, hilangnya sumber mata pencaharian, dan penderitaan sosial jauh lebih besar daripada manfaat ekonomi yang diterima. Sayangnya, kewajiban perusahaan untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan masih sering diabaikan.
Penutup