Mohon tunggu...
Muhamad Husni Tamami
Muhamad Husni Tamami Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Jurnalis, dan Entrepreneur

Menebar kebaikan dan kemanfaatan. Selengkapnya di www.muhamadhusnitamami.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanpa Desa Tak Ada Istilah Kota

11 Oktober 2020   21:00 Diperbarui: 11 Oktober 2020   22:25 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa Pasir Angin, Megamendung, Bogor

Bicara soal desa ada ribuan cerita di sana. Saya lahir di desa, dibesarkan di desa, dan sekarang masih di desa sembari menimba ilmu di tanah Sunda, IPB Univeristy. 

Secara konstitusi desa merupakan wilayah administratif di bawah kecamatan, contohnya Desa Pasir Angin yang terletak di Kabupaten Bogor. Orang yang memimpin di desa disebut kepala desa. Desa juga terdiri dari beberapa RW dan RT yang merupakan wilayah adminstratif di bawah desa yang tujuannya untuk mempermudah pemerintah desa dalam melaksanakan tugasnya.

Tidak hanya desa, ternyata ada juga wilayah administratif di bawah desa, yakni kelurahan yang pemimpinnya sering disebut lurah.

Perbedaan antara desa dan kelurahan dapat ditemukan dari pemimpinnya. Desa dipimpin oleh kepala desa yang berasal dari rakyat kemudian dipilih oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Sementara  lurah dipimpin oleh seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang pengangkatannya ditunjuk oleh bupati/ walikota.

Kembali lagi ke pembahasan desa. Tadi pengertian desa secara konstitusi. Bagaimana pengertian desa yang dilihat dari kenyataannya? 

Menurut saya, desa adalah suatu wilayah yang penduduknya homogen, tingkat kedekatannya masih erat, masih menggunakan cara-cara tradisional, dekat dengan alam, dan mata pencahariannya hampir sama.  Orang yang tinggal di desa kemudian tinggal di kota akan menyebut bahwa desa itu adalah tempat yang nyaman, jauh dari polusi, atmosfer masih segar, pemandangannya indah, tempat untuk me-refresh diri, dan kenikmatan-kenikmatan lainnya. Ya, sejatinya desa memang begitu. Apakah sekarang demikian?

Sekarang kita temui bahwa ternyata desa tak semua begitu. Seiring berjalannya waktu desa mulai berubah. Alih fungsi lahan di desa sudah banyak. Contohnya saja di wilayah saya, awalnya lahan pertanian sekarang menjadi tempat pemancingan. Untung saja lahan pertanian kakek saya tidak dijual kepada pihak yang akan menjadikan tempat pemancingan itu.

Atmosfer di desa tidak seperti dulu. Memang masih ada desa yang asri, tetapi tidak semua desa demikian. Ini adalah tantangan kita sebagai generasi muda untuk menyikapi hal-hal seperti ini. Generasi muda yang peduli terhadap desa berarti peduli terhadap masa depan bangsa Indonesia.

Saya ingin berbagi pengalaman. Setelah IPB melakukan proses perkuliahan secara daring, saya berinisiatif untuk lebih dekat dengan masyarakat desa. Saya ikut program di kampung, yaitu ronda dan HUT RI ke- 75.

Saya berdinamika dengan masyarakat desa. Melihat langsung bagaimana kondisi desa di lapangan. Beragam permasalahan di desa saya temukan. Hasil pengamatan saya masih ditemukan konflik antar individu, perbedaan pandangan, adanya kubu-kubu, ketidakpedulian terhadap program kampung, dan kurangnya motivasi untuk memajukan kampung halamannya.

Namun, di sisi lain ada sekelompok pemuda-pemudi desa yang memiliki tekad untuk memajukan kampungnya. Mereka membuat suatu kepanitiaan untuk HUT RI ke- 75. Tahun lalu kegiatan ini dipegang oleh para orang tua, sekarang diambil alih oleh pemuda-pemudi.

Keaktifan mereka terhadap kampungnya karena ingin ada kemajuan. Mereka tidak ingin kampung halamannya sendiri diam tanpa ada program-program kepemudaan. Mereka memiliki hati untuk berkontribusi pada bangsa dan negara melalui keaktifannya di kampung sendiri.

Itu terkait SDM di desa saya. Potret desa saya selain yang sudah disebutkan di atas (tentang pemancingan) memang potensi pertaniannya masih ada. Beberapa wilayah di desa saya masih memanfaatkan lahan pertanian untuk menunjang kehidupannya.

Selain itu, wisata di desa saya memang belum nampak jelas, tapi potensinya ada. Saya sendiri memiliki impian untuk membangun desa melalui pemanfaatan potensi yang ada di desa saya sendiri. Entah itu melalui potensi wisatanya, potensi SDM-nya, maupun potensi lainnya.

Sebetulnya di desa saya tepatnya di RT saya sendiri ada suatu peninggalan tentara Jepang berbentuk gua. Konon katanya gua ini adalah tempat penyimpanan bagi tentara Jepang. Akan tetapi, saya belum mempertanyakan lebih dalam lagi tentang gua ini. Kalau diteliti lebih dalam dan ternyata ini adalah benar gua tentara Jepang, mungkin ini juga bisa menjadi potensi bagi desa saya.

Saya sebagai pemuda yang datang dari desa sangat bangga lahir dan dibesarkan di desa. Saya bisa merasakan nikmatnya keindahan alam, permainan ala anak desa, ngebolang di lahan pertanian, memanfaatkan alat-alat tradisional sebagai alat permainan, diajarkan tatakrama yang santun, dan lain sebagainya. Intinya bagi saya desa itu adalah wahana menikmati dunia.

Saya berharap semoga di masa depan nanti keasrian desa tetap ada dan banyak orang yang peduli terhadap desa. Desa adalah aset untuk kemajuan bangsa Indonesia. Desa adalah awal kebangkitan kota, karena tanpa desa tidak ada sebutan kota. Mari sebagai generasi bangsa untuk tetap peduli pada desa.

Artikel ini telah tayang di https://www.muhamadhusnitamami.com/2020/09/tanpa-desa-tak-ada-istilah-kota.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun