Bayangkan sebuah perusahaan besar yang setiap tahun berhasil mencetak keuntungan triliunan rupiah. Angkanya tampak menakjubkan, tetapi di balik gemerlap itu ada cerita lain: sungai yang tercemar limbah, udara yang dipenuhi asap, hingga konflik berkepanjangan dengan masyarakat sekitar. Apakah kondisi semacam itu masih bisa disebut sebagai kesuksesan?
Kini, ukuran keberhasilan sebuah bisnis tidak lagi berhenti pada angka profit. Dunia menuntut keseimbangan: perusahaan dituntut untuk tetap untung, namun juga menjaga lingkungan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Dari sinilah lahir konsep akuntansi keberlanjutan, sebuah jembatan yang menghubungkan performa keuangan dengan tanggung jawab sosial dan ekologis.
Berbeda dengan akuntansi tradisional yang sebatas menghitung uang keluar dan masuk, akuntansi keberlanjutan menggali lebih dalam. Ia menuliskan jejak yang sering terlupakan: berapa emisi karbon yang dihasilkan pabrik, seberapa banyak air dan energi yang dikonsumsi, hingga sejauh mana perusahaan hadir dan berkontribusi untuk masyarakat sekitar. Semua itu terangkum dalam laporan keberlanjutan yang membantu perusahaan memahami bukan hanya berapa banyak keuntungan yang mereka raih, tetapi juga berapa besar dampak yang mereka timbulkan.
Mengapa hal ini penting? Karena di era globalisasi, perusahaan tidak bisa lagi hanya berpikir soal laba. Dengan mencatat dan menganalisis konsumsi energi maupun bahan baku, perusahaan dapat menemukan titik boros dan mengubahnya menjadi efisiensi. Reputasi pun ikut dipertaruhkan; satu isu lingkungan saja bisa meruntuhkan citra perusahaan di hadapan publik. Di sisi lain, investor internasional kini lebih percaya menanamkan modal pada perusahaan dengan skor keberlanjutan yang baik, karena dianggap memiliki masa depan yang lebih stabil. Tidak kalah penting, kompetisi global semakin ketat: negara-negara telah menetapkan pajak karbon dan standar ramah lingkungan. Hanya perusahaan yang siap lebih awal yang mampu bertahan dalam rantai pasok dunia.
Namun perjalanan menuju akuntansi keberlanjutan tentu tidak mudah. Di Indonesia, masih banyak regulasi yang masih bersifat sukarela sehingga pelaksanaannya belum maksimal. Biaya penyusunan laporan keberlanjutan juga dianggap berat, terutama bagi UMKM yang kesulitan menyediakan sistem, audit, dan tenaga ahli. Selain itu, masih sedikit sumber daya manusia yang benar-benar paham cara mengukur jejak karbon maupun dampak sosial. Lebih rumit lagi, muncul praktik greenwashing, di mana perusahaan hanya sekadar membuat laporan indah tanpa langkah nyata, sehingga masyarakat semakin skeptis.
Meski penuh tantangan, kenyataan menunjukkan bahwa perubahan mulai terjadi. Beberapa bank besar di Indonesia sudah berkomitmen hanya menyalurkan kredit pada proyek yang ramah lingkungan. Perusahaan di sektor energi mulai terbuka dengan laporan emisi karbon sebagai bagian dari strategi bisnis jangka panjang. Sementara di tingkat global, perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Microsoft telah berjanji untuk menjadi carbon neutral dalam beberapa dekade ke depan. Mereka bukan hanya menghitung keuntungan finansial, melainkan juga menghitung berapa banyak karbon yang berhasil mereka kurangi.
Manfaatnya pun terasa lebih luas, bukan hanya bagi perusahaan. Lingkungan diuntungkan dengan berkurangnya polusi dan pemanfaatan sumber daya yang lebih bijak. Masyarakat merasakan dampaknya melalui berbagai program sosial, kesehatan, pendidikan, hingga pemberdayaan ekonomi lokal. Dan yang tak kalah penting, generasi mendatang mewarisi bumi yang lebih hijau karena perusahaan hari ini memilih untuk bertanggung jawab.
Pada akhirnya, akuntansi keberlanjutan adalah soal keseimbangan. Ia mengajarkan bahwa keuntungan yang sejati bukan hanya soal angka di laporan keuangan, tetapi juga warisan yang ditinggalkan untuk bumi dan manusia. Perusahaan yang mengabaikan keberlanjutan mungkin bisa bertahan sesaat, namun sulit untuk menjamin masa depan. Sebaliknya, perusahaan yang menanamkan prinsip keberlanjutan sejak dini akan menuai loyalitas, kepercayaan, dan keunggulan kompetitif yang tak ternilai.
Pertanyaannya, apakah perusahaan di Indonesia sudah sungguh-sungguh berjalan di jalur keberlanjutan? Ataukah hanya pandai merangkai laporan yang tampak cantik diluar tapi busuk didalam?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI