Nah, Budi Utomo adalah gerakan politik kaum terdidik yang lahir dari kebijakan politik etis Van Deventer. Melalui pendidikan, mereka beradaptasi dengan wacana-wacana bersar dunia yang saat itu sedang tren: nation-state dan narasi nasionalisme. Gerakan perjuangan mengalami transformasi, dari fisik (perang) menuju ide.
Pengerahan massa secara besar-besaran hanya akan semakin memperlebar jurang polarisasi yang selama ini terjadi selama delapan bulan masa kampanye, bahkan bisa jadi lima tahun yang lalu.Â
Gerakan people power hanya akan menjadi ajang "gladiator" antara rakyat dan aparat, yang sejarah kelamnya bisa kita baca melalui peristiwa 1998. Sudah saatnya para elit kita dewasa berpoliti, bukan karena persoalan golongan, kubu, dan partai kemudian mengorbankan kepentingan bangsa.
Kedua, Budi Utoma adalah penyemaian benih persatuan. Sebagaimana kita tahu, pemahaman nasionalisme yang baru membuncah di dada kaum muda terdidik telah membangun cita-cita baru: persatuan sebagai sebuah bangsa.Â
Primordialitas dan ego kesukuan mulai dikikis. Persamaan sebagai bangsa terjajah menjadi kalimatussawa', kalimat pengikat sebagai bangsa senasip seperjuangan.Â
Kepentingan politik primordial mulai digerus oleh semangat persamaan dan cita-cita untuk merdeka. Semagat ini mestinya harus dicontoh oleh para elit kita. Pesta (perang) demokrasi sudah usai.Â
Saatnya menatap masa depan bangsa yang membutuhkan kerjasama semua pihak. Kekecewaan politik itu wajar dan sah. Namun jika harus mengorbankan kepentingan bangsa dan negara adalah sesuatu yang konyol.Â
Para elit dari semua kubu harus mulai membangun rekonsiliasi, di tengah puing-puing perpecahan yang mereka haru-birukan selama masa kampanye.