Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kebangkitan Nasional dan Kedewasaan Politik

22 Mei 2019   05:20 Diperbarui: 23 Mei 2019   03:02 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi pejabat publik (KOMPAS)

"People Power" dan makar menjadi terminologi populer yang ramai dibicarakan menjelang pengumuman hasil Pilpres 22 Mei. Kecurangan dalam pilpres oleh kelompok orang dianggap sudah cukup meniscayakan adanya "kekuatan rakyat", sebuah gerakan populis yang biasanya terkait dengan pergantian kekuasaan. 

Pada dimensi yang sama, terminologi 'makar' acapkali menjadi rumpun istilah yang sejenis, atau setidaknya memiliki beberapa indikator yang serupa.

Dalam horizon demokrasi, penggalangan kekuatan massa untuk melakukan protes, kritik atau penolakan kebijakan adalah sesuatu yang wajar. Bahkan istilah people power secara harfiah sebenarnya merupakan spirit demokrasi, di mana kekuasaan menjadi kedaulatan rakyat. 

Namun yang sangat mengganjal kiranya adalah kerika people power didistorsi maknanya, yakni hanya sekedar gerakan tidak bisa menerima kekalahan berdemokrasi. 

Jika ini terjadi, maka mekanisme demokrasi yang terwujud melalui pemilihan umum sudah barang tentu mencoba dilegitimasi. Apalagi prosedur yang disediakan dalam perangkat Pemilu, seperti rekapitulasi yang berjenjang, keberadaan badan pengawas, sampai pada prosedur hukum melalui Mahkamah konstitusi tidak dipilih. People power nir-prosedur hukum dalam konteks ini dekat maknanya dengan gerakan melawan hukum, apa jika mau agak ekstrim: adalah upaya makar.

Keriuhan media kita, khususnya media sosial tentang gerakan people power kiranya menjadi kegaduhan tersendiri dalam iklim demokrasi. Hal ini diperparah dengan berbagai statemen para elit, yang alih-alih menyejukkan, justru cenderung memprovokasi. Kekecewaan terhadap hasil Pilpres menjadi pukulan "kiamat politik", sehingga harus disikapi secara provokatif, bahkan cenderung agitatif. 

Yang terjadi, justru masyarakat terpancing, beberapa termanifestasi melalui hujatan, ujaran kebencian, bahkan ancaman kekerasan. Rakyat akhirnya yang menjadi korban. Lihat saja, beberapa orang harus diciduk oleh aparat, hanya karena ucapan ancaman, yang sebenarnya adalah sikap emosional karena agitasi politik para elit.

Para elit kiranya harus belajar pada para tokoh pergerakan nasional, khususnya pada era kebangkitan nasional. Ada beberapa sikap (genealogi) nasionalisme para tokoh pada saat ini yang berbuah manis: nasionalisme dan pergerakan nasional. 

"Dalam horizon demokrasi, penggalangan kekuatan massa untuk melakukan protes, kritik atau penolakan kebijakan adalah sesuatu yang wajar. Bahkan istilah people power secara harfiah sebenarnya merupakan spirit demokrasi, di mana kekuasaan menjadi kedaulatan rakyat."

Era kebangkitan nasional yang dimotori oleh organisasi Budi Utomo (1908), kiranya menjadi platform gerakan nasionalisme baru yang sebelumnya belum dikenal. Pertama, Budi utomo menjadi tonggal nasionalisme. Dalam buku sejarah seringkali disebutkan bahwa Budi Utoma adalah tonggal lahirnya nasionalisme. 

Cirinya: sebelum lahirnya Budi Utomo corak perjuarangan bangsa lebih bersifat kedaerahan. Hal ini karena lingkup perlawanan yang tersebar dalam kantong-kantong kerajaan, kesultanan, masyarakat lokal, juga karena istilah 'bangsa' pada saat ini tidak cukup dikenal. 

Nah, Budi Utomo adalah gerakan politik kaum terdidik yang lahir dari kebijakan politik etis Van Deventer. Melalui pendidikan, mereka beradaptasi dengan wacana-wacana bersar dunia yang saat itu sedang tren: nation-state dan narasi nasionalisme. Gerakan perjuangan mengalami transformasi, dari fisik (perang) menuju ide.

Pengerahan massa secara besar-besaran hanya akan semakin memperlebar jurang polarisasi yang selama ini terjadi selama delapan bulan masa kampanye, bahkan bisa jadi lima tahun yang lalu. 

Gerakan people power hanya akan menjadi ajang "gladiator" antara rakyat dan aparat, yang sejarah kelamnya bisa kita baca melalui peristiwa 1998. Sudah saatnya para elit kita dewasa berpoliti, bukan karena persoalan golongan, kubu, dan partai kemudian mengorbankan kepentingan bangsa.

Kedua, Budi Utoma adalah penyemaian benih persatuan. Sebagaimana kita tahu, pemahaman nasionalisme yang baru membuncah di dada kaum muda terdidik telah membangun cita-cita baru: persatuan sebagai sebuah bangsa. 

Primordialitas dan ego kesukuan mulai dikikis. Persamaan sebagai bangsa terjajah menjadi kalimatussawa', kalimat pengikat sebagai bangsa senasip seperjuangan. 

Kepentingan politik primordial mulai digerus oleh semangat persamaan dan cita-cita untuk merdeka. Semagat ini mestinya harus dicontoh oleh para elit kita. Pesta (perang) demokrasi sudah usai. 

Saatnya menatap masa depan bangsa yang membutuhkan kerjasama semua pihak. Kekecewaan politik itu wajar dan sah. Namun jika harus mengorbankan kepentingan bangsa dan negara adalah sesuatu yang konyol. 

Para elit dari semua kubu harus mulai membangun rekonsiliasi, di tengah puing-puing perpecahan yang mereka haru-birukan selama masa kampanye.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun