Mohon tunggu...
muhalbirsaggr
muhalbirsaggr Mohon Tunggu... Guru sekaligus Operator/telah menulis Buku Antologi Jejak Pena dan Lukisan Rasa

Saat ini giat Menulis/orangnya pendiam-pekerja keras/konten favorit aku adalah Karya Fiksi/Non Fiksi, Inovasi pendidikan, Puisi serta perjalanan wisata

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rahasia di Balik Daun Kedondong

9 Oktober 2025   14:07 Diperbarui: 9 Oktober 2025   14:07 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon Kedondong di taman Sekolahku (M.2025)

Rahasia di Balik Daun Kedondong
Karya: Muhalbir

Pagi itu, embun menitik di ujung daun-daun kedondong di halaman belakang rumah Darsa. Udara masih berbau tanah basah, dan ayam-ayam jantan bersahutan dari kejauhan. Di balik suara itu, Arga---remaja berusia enam belas tahun---sedang menunduk memerhatikan daun kedondong yang baru tumbuh di dahan muda. Warnanya lebih hijau dari biasanya, seolah menyimpan kilau cahaya matahari yang belum lahir.

"Arga, bantu bapak menimba air di sumur," suara Darsa memecah lamunannya.
"Sebentar, Pak. Aku lihat daun ini berubah warnanya sejak kemarin sore," jawab Arga, matanya tak lepas dari lembaran hijau yang bergetar ringan diterpa angin.

Darsa mendekat. Ia menatap anaknya dengan senyum getir. "Kau ini selalu saja penasaran dengan hal kecil. Daun itu cuma daun, Nak. Tak semua yang berbeda harus dicari artinya."

Namun bagi Arga, kata cuma daun adalah panggilan untuk bertanya lebih dalam. Ia telah membaca buku-buku peninggalan guru IPA di SMP yang pernah memberinya pinjaman majalah tentang bioteknologi sederhana. Dari situ ia tahu, setiap daun menyimpan rahasia reaksi kimia yang membuat dunia ini tetap bernapas.

Rumah keluarga Darsa berdiri di pinggir desa Lempangang. Desa itu dikelilingi sawah, sungai kecil, dan kebun buah-buahan yang menghijau sepanjang tahun. Darsa dikenal sebagai pengrajin alat pertanian sekaligus penanam tanaman obat. Ia sering diminta membantu warga yang demam, batuk, atau luka dengan racikan daun-daunan.
Istrinya, Sumiati, wanita lembut yang gemar menenun dan menyeduh jamu, sering berkata,

"Setiap daun itu punya doa, Gar. Kalau kau menatapnya dengan hati yang bersih, kau akan tahu doa apa yang ia bisikkan."

Kalimat itu terus melekat di benak Arga. Tapi doa daun kedondong, entah mengapa, terasa berbeda.

Suatu malam, ketika bulan separuh menggantung di atas pohon nangka, Sumiati terbaring lemah di dipan bambu. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia batuk tanpa henti.

"Sejak tadi sore ibu mengeluh dada sesak," kata Darsa, gelisah.
"Apa sudah diberi ramuan jahe dan madu?" tanya Arga.
"Sudah, tapi demamnya makin tinggi."

Tabib desa datang keesokan paginya. Ia menggeleng pelan. "Ini bukan sakit biasa. Paru-parunya lemah. Perlu istirahat lama. Mungkin juga karena udara lembap dan asap dapur."

Setelah tabib pergi, Arga duduk di samping ibunya, memegang tangan yang terasa dingin. Ia menatap keluar jendela---ke arah pohon kedondong yang daunnya bergetar pelan dalam cahaya pagi. Entah mengapa, daun-daun itu seperti memanggil.

Beberapa hari kemudian, Sumiati belum juga membaik. Obat dari tabib tak banyak membantu. Darsa mulai pasrah. Tapi Arga tidak.

Malam itu, ia membawa senter kecil dan pergi ke kebun. Ia memetik beberapa helai daun kedondong yang paling muda---yang kemarin tampak berwarna lebih cerah. Saat ia meneliti permukaannya di bawah cahaya senter, tampak garis halus berkilau seperti urat nadi perak.

Arga teringat eksperimen sederhana tentang klorofil dan cahaya matahari yang pernah ia baca. Tapi kilau ini bukan pantulan biasa. Ada pola simetris di setiap daun---seperti rangkaian saraf yang berpola geometri sempurna.

"Apakah ini... bentuk pesan alam?" gumamnya.

Ia merendam daun-daun itu ke dalam air hangat, menumbuknya, lalu meneteskan sedikit air perasan ke dalam cangkir. Warna air berubah menjadi hijau muda, lalu perlahan berpendar lembut, memunculkan aroma segar menyerupai jeruk dan tanah hujan.

Darsa memergokinya.
"Arga! Apa yang kau lakukan tengah malam begini?"
"Bapak... aku cuma mencoba membuat ramuan untuk ibu. Mungkin daun kedondong bisa membantu."
"Jangan sembarangan, Nak. Daun kedondong itu asam, bisa membuat lambung sakit."
"Tapi Pak, lihat ini..." Arga menunjukkan cairan hijau yang kini berpendar redup dalam gelas. "Ia bereaksi dengan air hangat, seperti mengeluarkan energi kecil."

Darsa terpana sesaat, tapi menepis perasaan itu. "Jangan main-main dengan hal aneh. Besok buang saja."

Namun, pagi itu, tanpa sepengetahuan ayahnya, Arga mencampurkan setetes air hijau itu ke dalam jamu ibunya. Dan keajaiban pun terjadi---siang harinya Sumiati membuka mata dengan senyum lemah. Napasnya tidak lagi tersengal.

"Arga... kau buat jamu ini?" tanyanya lirih.
"Iya, Bu. Dari daun kedondong di belakang rumah."
"Rasanya segar. Badanku enteng," ucapnya dengan senyum yang lama tak terlihat.

Darsa tertegun, antara syukur dan rasa heran yang menyesakkan dada.

Kabar kesembuhan itu menyebar cepat. Warga desa datang silih berganti, meminta Arga membuatkan ramuan serupa. Ada yang sembuh dari batuk lama, ada pula yang merasa bugar kembali. Mereka menyebutnya "air hijau penyembuh".

Namun, semakin sering digunakan, Arga menyadari sesuatu aneh. Daun kedondong yang dipetiknya mulai kehilangan kilau. Warnanya memucat. Sementara itu, ibunya yang semula pulih, mulai sering mengigau saat tidur. Ia mengucapkan kata-kata tak jelas---seperti menyebut nama yang tak dikenal.

"Rama... jangan biarkan cahaya itu hilang..." begitu kata-kata yang keluar dari bibirnya.

Siapa Rama? Darsa maupun Arga tak tahu.

Suatu malam, Arga bermimpi aneh. Ia berdiri di tengah hutan kedondong raksasa. Setiap daun berpendar hijau, menerangi jalan di hadapannya. Dari balik kabut, muncul sosok lelaki tua berambut putih, membawa tongkat.

"Daun itu bukan untuk semua manusia, Nak," katanya. "Ia hanya menjawab doa yang lahir dari kasih. Tapi jika kau paksa ia menjadi ilmu, ia akan mengambil kembali apa yang ia beri."

Arga terbangun dengan napas memburu. Ia berlari ke kamar ibunya. Sumiati masih tidur, tapi wajahnya tenang. Di meja kecil di sebelahnya, segelas air hijau itu masih setengah penuh---namun kini warnanya pudar seperti abu-abu daun layu.

Keesokan harinya, Darsa dan Arga kembali ke kebun. Mereka memandangi pohon kedondong itu. Setengah daunnya telah rontok. Darsa berkata pelan,

"Kau tahu, dulu kakekmu juga punya pohon kedondong seperti ini. Ia bilang, pohon itu muncul sendiri di tanah tempat ia menanam doa untuk nenekmu yang meninggal muda. Sejak itu, setiap kali ada yang sakit, daun kedondongnya selalu mujarab."

Arga menatap ayahnya. "Jadi... mungkin pohon ini juga tumbuh dari doa?"

Darsa hanya diam. Angin berhembus membawa aroma asam manis khas kedondong, seolah menyentuh masa lalu yang enggan hilang.

Hari-hari berikutnya, Arga mencoba meneliti daun itu lebih jauh. Ia membuat catatan:

- Daun muda memancarkan kilau di malam hari.

- Air rebusan memiliki reaksi bioluminesensi singkat.

- Penggunaan berlebih menyebabkan perubahan perilaku ringan: mimpi hidup, halusinasi ringan, rasa damai mendalam.

Ia menulis di buku catatannya:
"Mungkin daun ini mengandung senyawa kloroplas mutasi yang menyimpan energi cahaya berlebih. Mungkin efeknya menstimulasi sistem saraf manusia."

Tapi di balik setiap baris catatan, Arga merasa ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh ilmu. Karena setiap kali ia menulis, angin seolah berbisik dari arah pohon, seperti menegur: Jangan tulis aku. Aku bukan eksperimen.

Suatu sore, datang sekelompok mahasiswa dari kota yang sedang melakukan penelitian tanaman tropis. Mereka mendengar kabar tentang "air penyembuh" dan ingin memeriksa kandungannya. Darsa menolak halus, tapi Arga diam-diam setuju membantu.

Malam itu mereka mengambil beberapa daun dan melakukan uji sederhana di rumah Arga. Saat daun direbus, reaksi aneh muncul: air mendidih berwarna perak dan mengeluarkan cahaya redup seperti fosfor. Salah satu mahasiswa merekam dengan kamera. Tapi ketika mereka mencoba menyentuh cairan itu, cahaya meredup, lalu padam. Tak lama, lampu rumah ikut mati.

"Arga, matikan itu! Ini tidak wajar!" seru Darsa yang tiba-tiba masuk dengan wajah panik.
"Tapi Pak, ini bisa jadi penemuan besar!"
"Penemuan bukan segalanya kalau membuatmu kehilangan arah," jawab Darsa keras, namun suaranya bergetar.

Malam itu, setelah para mahasiswa pergi, hujan turun deras. Petir menyambar di atas pohon kedondong. Keesokan paginya, pohon itu hangus separuh, batangnya hitam seperti terbakar dari dalam.

Sumiati yang telah pulih kembali duduk di beranda, menatap pohon itu lama.
"Gar," katanya pelan, "Kadang Tuhan menitipkan rahasia pada hal kecil. Tapi jika manusia terlalu ingin membongkarnya, rahasia itu berubah menjadi ujian."

Arga menunduk. "Jadi aku salah, Bu?"
"Ibu tak bilang salah. Kau hanya belum tahu batas antara ingin tahu dan serakah."

Ia menangis tanpa suara. Daun-daun yang tersisa berguguran satu per satu, dan aroma asam kedondong memenuhi udara seperti kenangan yang enggan pergi.

Beberapa bulan berlalu. Sumiati benar-benar sembuh. Warga desa menganggap semua itu mukjizat. Pohon kedondong kini tumbuh lagi, tapi tak berkilau seperti dulu. Arga lebih sering duduk di dekatnya sambil menulis, bukan lagi bereksperimen. Ia menulis tentang ayahnya yang tabah, tentang ibunya yang lembut, dan tentang daun yang mengajarinya makna cinta yang tak perlu dibuktikan dengan mikroskop.

Suatu sore, seorang peneliti dari universitas datang membawa kabar: cairan yang mereka teliti dulu ternyata mengandung enzim baru yang tak dikenal, mampu menstimulasi regenerasi sel. Tapi mereka tak bisa mengulang efeknya lagi.

"Apakah kau masih punya daunnya?" tanya sang peneliti.
Arga menggeleng. "Pohonnya sudah biasa sekarang. Tidak lagi bercahaya."
"Sayang sekali. Dunia butuh penemuan seperti itu."
Arga tersenyum kecil. "Mungkin dunia juga butuh rahasia yang tak bisa ditemukan."

Tahun-tahun berjalan. Darsa menua. Arga tumbuh menjadi guru sains di sekolah desa. Setiap kali muridnya bertanya tentang daun dan cahaya, ia selalu berkata:
"Setiap daun menyimpan kisah. Tapi tak semua kisah harus dijelaskan. Ada yang cukup dirasakan."

Di kebun belakang rumah, pohon kedondong tetap berdiri. Daunnya hijau biasa, tapi setiap kali senja datang dan matahari terbenam di balik pegunungan, ada satu helai daun yang memantulkan cahaya lembut---hanya sekejap, seperti kedipan mata alam.

Arga kadang menatapnya lama. Ia teringat ibunya, teringat malam-malam ketika doa dan ilmu berpadu dalam gelas kecil berisi air hijau. Ia tahu kini, rahasia itu bukan tentang penyembuhan, tapi tentang hubungan manusia dengan alam---bahwa cinta yang tulus bisa menyalakan energi yang tak terukur oleh sains mana pun.

Malam itu ia menulis kalimat terakhir dalam buku catatannya:
"Rahasia daun kedondong bukan untuk disebar, tapi untuk diingat. Karena di balik setiap kesembuhan, ada kasih yang diam-diam bekerja melampaui rumus dan cahaya."

Ia menutup buku itu, memandang langit yang perlahan gelap. Dari arah kebun, terdengar bisikan halus seperti desiran daun:
"Terima kasih, Arga."

Dan angin pun berhenti sesaat, seolah alam sendiri sedang berdoa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun