11. Dua Puluh Tahun Kemudian
Dua puluh tahun berlalu. Desa Lembah Hijau kini menjadi pusat Institut Energi Hijau Nasional. Alya telah menjadi ilmuwan muda, dan Rafi menjadi insinyur lingkungan.
Pohon mangga tua masih berdiri megah. Di bawahnya, sebuah tugu peringatan kecil bertuliskan:
"Dari daun sederhana, lahirlah cahaya bagi dunia."
Suatu hari, seorang anak kecil dari kota datang berkunjung dalam program edukasi. Ia bertanya polos, "Kak, benarkah semua ini dimulai dari daun mangga?"
Alya tersenyum dan menjawab, "Benar. Dari rasa ingin tahu, cinta keluarga, dan hormat pada alam."
Anak itu menatap dedaunan yang bergoyang diterpa angin. "Aku ingin jadi seperti Kakak."
Alya menepuk bahunya, "Mulailah dengan menanam pohon. Alam akan membalasmu dengan keajaiban."
12. Warisan yang Hidup
Malam itu, angin berhembus lembut. Di bawah cahaya bintang, daun-daun mangga memantulkan sinar hijau kecil --- pancaran energi yang tenang.
Bu Ratna yang kini beruban duduk di beranda bersama cucu-cucunya.
"Dulu, nenekmu Rini sering berkata," katanya lirih, "daun mangga itu seperti manusia. Bila disakiti, ia tetap memberi. Bila dijaga, ia menyembuhkan."
Alya datang membawa secangkir teh daun mangga hangat. "Ibu, teknologi terus berkembang. Tapi semua ini tak akan ada tanpa kebiasaan sederhana yang kita jaga."
Bu Ratna tersenyum. "Ya, kebiasaan menjemur daun, menyeduhnya, dan menghargainya. Itulah awal segalanya."
13. Kesimpulan dari Kehidupan
Kini, manfaat daun mangga tidak hanya sebagai obat, minuman, atau sumber energi. Ia menjadi simbol peradaban baru --- peradaban yang memadukan tradisi dengan ilmu pengetahuan, cinta dengan teknologi, masa lalu dengan masa depan.
Dari keluarga kecil di desa, lahirlah gerakan besar yang mengubah dunia.