Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Penulis - Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humor Sufi: Kehilangan Jiwa Seorang Guru?

15 Desember 2021   14:28 Diperbarui: 15 Desember 2021   15:13 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Teringat pada lagu Guru Oemar Bakri (Iwan fals)  menyebutkan perjuangan seorang guru yang sudah mengabdi lebih dari 40 tahun dan menjadikan murid-murid menjadi orang yang sukses.  Mungkin itu hanya karangan namun juga bisa sebuah realita kehidupan seorang guru yang polos dan memiliki jiwa/ruh seorang guru.

Bisa diri bayangkan kondisi kehidupan beliau yang hidup dalam serba keterbatasan namun tetap memiliki semangat untuk menjalankan tugas profesi dengan penuh tanggung jawab.  Mungkin itu tidak terjadi pada bapak Oemar Bakri tapi mungkin gambaran guru-guru pada era masa itu.

Para guru jaman itu "malu" untuk berteriak memperjuangkan gaji dan fasilitas yang diharapkan agar dirinya tetap dapat fokus dalam mengajar dan menjadikan murid-murid sukses semua.  Tapi rasa malu yang sesungguhnya dimiliki adalah jika dirinya tidak bisa memberikan nilai-nilai kebaikan kepada murid-muridnya. 

Apakah mungkin ini juga terjadi pada guru-guru di era sekarang yang semua fasilitas cukup dan penghasilan jauh melebihi di atas UMR?  Terlebih ketika era pembelajaran dengan model online seperti ini?

Fenomena banyak "oknum" guru yang sudah menjadikan profesi idaman sebagai cita-cita dimasa kecil, dimana diri masih polos dengan hal-hal yang meracuni kehidupan karena selalu melihat kebaikan dan sangat bijakasana.  Dan ketika dirinya sekarang sudah menjadi seorang guru, berubah dari guru sebagai profesi menjadi guru sebagai alat untuk mencapai prestasi.

Memang masih banyak guru yang masih tulus dalam menjalankan profesinya dengan sungguh-sungguh bahkan menjadi ladang untuk amal kebaikan mereka.  Namun ada juga yang berbuat "seperti" menjalankan usaha untuk mengeruk keuntungan agar dirinya dapat hidup dengan layak dan memperoleh popularitas diri.

Sebuah dilematis diri jika mengangkat topik ini, namun ketika diri sadar banyak "oknum" yang menyalahgunakan profesinya sebagai usaha untuk mencapai hasrat dan kuasa diri untuk memenuhi ambisi dan popularitas diri.  Maka mungkin topik ini bisa digunakan sebagai bahan renungan.  Karena semua manusia hakekatnya diciptakan untuk menjadi guru.

Dan masih banyak permasalahan-permasalahan yang dilematis mengenai masalah kehidupan dan penghidupan yang diangkat ke permukaan namun tidak dan jarang yang diangkat adalah hilangnya "ruh/jiwa" seorang guru.  Ketika jiwa/ruh seorang guru hilang maka bagaimana pendidikan yang terjadi untuk mempersiapkan generasi dimasa yang akan datang.

Pendidik Jaman Now

Perkembangan teknologi dengan pesat sangat memberikan kemudahan bagi proses sarana belajar mengajar.  Jika diri (sebagai bagian yang berkecimpung) dibidang pendidikan mungkin merasakan dampak yang signifikan baik dalam hal mempermudah tugas kita dan dengan mudah saling tukar informasi baik antara teman maupun dengan para murid.  Kemudahan ini bisa memberikan motivasi negatif maapun positif.

Baik dalam aspek informasi materi maupun aspek teknis lain yang berkaitan dengan materi dan  proses belajar mengajar sangat mempermudah tugas.  Namun kemudahan ini banyak menjadikan diri selalu hanya bergantung pada TI yang ada sehingga ketika kondisi off diri kita ibarat kepompong yang tak memiliki daya apapun.

Demikian juga dari peserta didik ketika harus menyiapkan materi mereka enggan untuk mencari atau membuka buku.  Maka bukupun dianggap sebagai hal yang memberatkan untuk dibuka.  Kebiasaan tidak membuka buku ini menjadikan diri malas untuk mencari dan membaca runtutan materi yang sebetulny karena dengan membuka google apapun yang sulit pasti akan terjawab.

Peran guru dan murid sudah mulai meninggalkan tugas utama membaca buku materi-materi.   Dan tugas guru tinggal memberikan tugas kepada murid untuk berselancar di dunia maya dan demikian juga murid apapun tugas yang diberikan akan dicari jawaban di tempat yang sama.

Hal ini berdampak kurangnya "nilai" dari proses belajar mengajar.  Guru pun mulai membiasakan dengan istilah "cari di google" ketika murid bertanya.  Dan jawaban muridpun juga mungkin cuma kopi paste dari internet.

Sebuah ironi dampak dari pendidikan sekarang.  Sehingga peran pendidik yang seharusnya mengajar anak didiknya mulai dari "menulis, membaca, dan memaknai" sampai terlupakan karena kemudahan akses dari internet itu sendiri.  

Ketika hal ini terjadi dan sudah menjadi kewajaran mungkin di era sekarang bagaimana mungkin diri akan menyiapkan generasi yang sukses dan lebih baik dari generasi kita sekarang.  Ini jika dilihat dari dampak proses belajar mengajar.

Tugas Pendidik

Teringat pada tokoh pendidikan Ki Hajar dewantoro yang selalu menjadi panutan agar menjadi guru yang baik , bahwa seorang guru haruslah memiliki filosofi dalam mengajar yaitu "ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani".  Sebuah filosofi yang memiliki dan menjelaskan tugas penting bagi seorang guru yang merupakan pemimpin dalam sebuah majelis keilmuwan.  

Tugas mendidik merupakan sebuah satu kesatuan yang komprehensip mulai dari input-proses-output dalam proses pendidikan.  Namun realita sekarang ini banyak yang sudah meninggalkan tugas nya dan langsung di outputnya yang berupa penilaian pada anak didiknya.

Memang mungkin dalam penilaian ada indikator-indikator input dan proses namun realita banyak yang mengutamakan output.  Padahal mungkin output itu ibarat sesuatu yang merupakan "produk palsu".  Karena output tergantung pada tahapan pada 3 hal tersebut.

Ketika orientasi hanya ke output maka tidak heran banyak yang melakukan "fraud/kecurangan" agar ketika dinilai dirinya mendapatkan nilai baik.   Ketika siswa melakukan kecurangan sebetulnya kesalahan bukan pada diri siswa tadi namun juga peran dari pendidik yang tidak memberikan penekanan materi sampai penekanan mental dalam belajar.

Dampak dari kebiasaan anak yang melakukan kecurangan ini jika tidak di antisipasi akan mengakibatkan sebuah pembentukan prinsip hidup yang bisa berkembang menjadi prinsip yang salah dalam kehidupannya di masa yang akan datang.  Jadi ketika kecurangan terjadi maka sebagai seorang pendidikan seharusnya diri merasa gagal dalam melakukan proses belajar mengajar.

Kegagalan diri dalam mendidik karena sudah hilangnya "ruh/jiwa mendidik".  Guru tidak harus menjadikan anaknya semua berprestasi namun tugas guru adalah menjadikan anak mengenal pada hakekat pada profesi yang akan diraihnya nya besuk di masa yang akan datang.

Ukuran Kesuksesan Pendidik

Ketika orientasi  agar sisiwa berprestasi menjadi acuan maka langkah diri sebagai pendidik adalah sudah keluar dari Teori keseimbangan kehidupan.  Dan mungkin ini hal yang umum ketika semua adalah mengejar prestasi karena pemahaman atau pengetahuan yang ada mengarah kepada hal tersebut.

Perbedaan antara profesi dan prestasi dapat dibaca dalam tulisan sebelumnya (Mencari prestasi atau menemukan profesi).

Kegagalan lain dari usaha diri dalam mendidikan karena diri sudah tidak lagi fokus pada proses belajar mengajar ini.  Kegagalan fokus diakibatkan oleh dari faktor internal dan ekstenal yang ada berasal dari diri.

Faktor internal yang merupakan penyebab dari diri biasanya terjadi karena masalah split personality.  Seorang guru konotasinya adalah mereka yang hidup sederhana dan memiliki pengetahuan yang luas.  Namun adanya keingingan yang tak bisa ditekan masalah kehidupan yang sederhana karena banyaknya tuntutan materi dari keluarga menyebabkan diri harus banting keras. 

Tuntutan yang semacam ini menjadikan diri berubah guru adalah sebuah profesi yang layak dihargai dengan nilai materi yang tinggi agar mereka dapat mengembangkan ilmunya.  Namun ketika tuntutan masalah materi dipenuhi (oleh pemerintah dengan sertifikasi) bukannya kembali fokus ke proses pendidikan malah lebih fokus pada tuntutan sertifikasi.  Sehingga ngajar pun bisa ditinggalkan dengan acara-acara agar memenuhi point sertifikasinya.

Faktor eksternal yang merupakan faktor dari luar diri namun mempengaruhi pikir dan fokus seorang pengajar.  Faktor ini akibat dari diri yang lemah dalam prinsip kehidupan yang selalu memandang rumput tentangga lebih hijau dibandingkan rumputnya sendiri.  Padahal jika kita tengok sebetulnya rumput kita merupakan ladang tanaman yang tidak harus dipanen di masa sekarang.

Ketika melihat orang lain dapat sukses dalam mencetak anak didiknya bukan menjadikan support untuk memperbaiki diri dengan memperbaiki proses pembelajaran dan kepemilikan pengetahuan sehingga dapat menyiapkan anak didiknya lebih baik.  Tapi kebiasaan diri adalah menuju pencapaian hasrat dan ambisi pada prestasi dengan menghalalkan segala cara.

Ukuran kesuksesanpun mulai bergeser akibat pemahaman yang diterima dari era globalisasi.  Kesuksesan sekarang ini diukur dengan ukuran materi saja.  Bukan diukur dengan perilaku dan kebijaksanaan dalam proses berpikir seorang manusia.

Memang jaman sudah berubah, apakah guru juga harus berubah dengan meninggalkan ruh/jiwa seorang guru.  Sehingga tugas yang mulia yaitu mendidik dan menyiapkan generasi yang lebih baik tidak menjadi impian dan ladang untuk menanam kebaikan kepada generasi yang akan menggantikannya.

Sebuah renungan diri yang bukan sebagai bentuk generalisasi semua guru berperilaku seperti diri ini.  Dan masih banyak teman-teman sejawat dari guru sampai dengan dosen yang bergaya seperti Oemar Bakri. 

Humor sufi bukan humor yang mewajibkan pembaca untuk tertawa. Tetapi ajakan diri untuk menertawakan diri yang sudah berbuat diluar garis yang wajar sehingga suka melewati jalan yang berliku dan penuh keresahaan.

Terima kasih

Magelang, 15/12/2021

Salam KAS

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun