Mohon tunggu...
Mufti Riyani
Mufti Riyani Mohon Tunggu... Dosen - Pembelajar dan Penjelajah

Belajar dari apa saja, dari siapa saja, tentang apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Demokrasi: Skeptis atau Pesimis?

30 Desember 2020   22:58 Diperbarui: 30 Desember 2020   23:32 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terlepas dari catatan hitam dalam perjalanannya. Anas Urbaningrum pernah menunjukan optimisme pada masa depan Indonesia melalui bukunya 'melamar demokrasi' (2004). Bagi Anas, Amerika telah melewati tahun-tahun yang panjang untuk mencapai kedewasaan demokrasinya. 

Pada taraf ini, harapan Anas Urbaningrum senada dengan para peniliti dan aktivis demokrasi dari Reseach centre for Politics and Goverment UGM yang juga bekerja bersama aktivis lain dari Universitas Oslo. M

ereka merangkum optimisme melalui buku "Reclaiming The State: Overcaming Of Democarcy In Post_Soeharto Indonesia" (2015). Buku ini diulas kembali oleh Reza AA Watimena dalam harian Kompas edisi 20 Agustus 2016 dengan judul "Meneropong Demokrasi di Indonesia". Ulasan ini dilengkapi dengan catatan-catatan khusus untuk mewaspadai beberapa hal yang mengancam.

Hal yang menarik adalah bahwa optimisme yang diproduksi, bertumpu pada suatu pemahaman yang seragam. Harapan ini mengikuti terminologi demokrasi seperti yang dirumuskan oleh David Beetham. Bahwa demokrasi merupakan wujud kontrol rakyat atas urusan-urusan publik dengan berpijak pada persamaan politik. 

Sikap skeptis akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan, benarkah demokrasi 'kita' masih bergerak dalam optimisme ini? Sedangkan disisi lain masyarakat memiliki common sense terhadap demokrasi berdasarkan apa yang mereka pungut dari nasibnya sehari-hari. 

Apakah rakyat masih menjadi subjek bersama dalam pemilu serentak yang juga baru saja dilaksanakan? Atau masyarakat berdasarkan pengalaman sosialnya justru teralineasi dari kekuasaan yang mereka serahkan kepada negara dan kemudian lebih merasa menjadi the ruled (yang dikuasi), berada dalam dominasi ruliing class (kelas menguasai) atau lebih buruk masyarakat justru merasa menjadi objek eksploitasi?

Keseimbangan Power Sebagai Romantic Ideal 

Bangunan optimisme pada demokrasi seperti harapan diatas bersumber pada keyakinan bahwa power berasal dari populasi masyarakat secara keseluruhan. Anggapan dasarnya yakni bahwa pemerintah dan negara bertindak sesuai dengan kepentingan masyarakat. 

Penduduk menggunakan power mengatur negara, negara menggunakan kekuasaan sah dan resmi atas dasar penerimaan bersama. Keseimbangan power semacam ini lebih dikenal sebagai teori pluralis yang dikembangkan dari pandangan fungsional Parson. Menurut pandangan ini,  power secara luas tersebar di dalam masyarakat dan pemerintahan yang ada berfungsi sebagai suatu proses kompromis.

Meskipun kelompok elit akhirnya muncul, namun menurut Vifredo Pareto  (1848 - 1923) keberadaannya lebih disebabkan karena elit memilki kecakapan dan kecerdasan pribadi dibanding orang lain serta memiliki kemampuan manajemen organisasi yang baik (Gaetano Mosca, 1858 - 1941). 

Dalam konsep yang lebih kuno, elit bisa jadi adalah Primus Inter Pares yakni mereka yang memiliki dua signifikasi dalam kedudukannya; memiliki status yang lebih tinggi dan berbagai kewenangan tambahan namun tetap masih setara dengan anggota kelompoknya dalam hal-hal penting. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun