"Tapi aku rasa bukan itu sih, aku suka dia karena dia udah bikin aku nyaman."
"Aku tak peduli meski dia tidak bertampang bule, atau seganteng Mark Feehily, bagi aku yang penting dia sayang aku, bisa terima aku dengan segala kekuranganku, dan yang terpenting dia juga sayang sama anak-anak."
"That's the most important point," sela Sitha
"Jangan nikah dengan laki-laki yang maunya sama emaknya aja, tapi nggak sayang sama anaknya."
"Pasti. Itu juga yang jadi pertimbangan utama," sahut Lintang.
"Dan jangan lupa juga agamanya. Karena surga bagi seorang wanita ada pada suaminya. Kalau suami tidak bisa jadi imam yang baik, gimana dia bisa menjaga kita para wanita ini selamat dari api neraka," timpal Gischa
"Iya... Percaya deh yang suaminya seorang ustadz." Sitha lagi-lagi mengolok Gischa.
"Ihhh.. Sebel, kan aku ngomong bener," sungut Gischa. Tawapun berderai lepas tanpa ada lagi beban yang mengganjal di hati masing-masing, Baik Sitha maupun Gischa, keduanya larut dalam bahagia Lintang yang bersemi bersama harapan indahnya.
Tak sengaja ekor mata Sitha menangkap bayangan seseorang, ia menegang, ada rasa penasaran yang tiba-tiba menyusup.
'Laki-laki itu lagi, siapa dia? Kenapa aku seperti pernah mengenalnya?' batin Sitha. Laki-laki yang sama yang menabraknya di Trawas beberapa waktu lalu. Dan kenapa dia sekarang ada di sini.
"Maaf, aku ke tollet sebentar," pamit Sitha
"OK.. Jangan lama-lama," pesan Lintang.