Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menjejak Bumi Si Burung

16 Maret 2016   14:39 Diperbarui: 16 Maret 2016   15:03 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pertengahan Juli 2013. Sebuah sore yang cerah di pantai Karangbolong, Kebumen. Ombak Laut Selatan berkejaran tiada henti ke pantai. Lidahnya setiap kali menjilati pasir pantai sampai rata mulus.

Biru air laut yang sejuk menghapus sisa terik yang masih lekat di ubun-ubun. Terbawa tadi dari tengah persawahan di Gombong. Di bawah matahari Kebumen, aku bersama isteri dan kedua gadis cilik kami memang baru saja blusukan ke tengah sawah di sana. Berpanas-panas menyaksikan barisan malai-malai padi menguning yang merunduk takzim.

Isteriku dan aku mengumpankan lidah kaki-kaki kami ke lidah ombak. Jilatan lidah ombak itu di lidah kaki kami memberi rasa geli terkili. Tapi juga rasa sejuk yang menyegarkan tubuh dari ujung kuku kaki hingga ke ujung rambut di kepala.

Kedua anak perempuan kami berlarian kesana-kemari di sepanjang bibir pantai. Berulang kali mereka menunduk memunguti aneka kulit kerang yang berserakan di atas pasir.

Puas bermain lidah ombak, isteriku dan aku duduk di lincak milik satu-satunya warung yang buka di pantai itu. Mengamati anak-anak kami, sembari mengunyah peyek udang yang dijajakan di situ.

Menoleh ke arah barat, pandangan mataku tertumbuk pada perbukitan menjulang. Bukan perbukitan biasa sebenarnya. Tepatnya, itu semacam semenanjung setengah lingkaran yang memisahkan pantai Karangbolong dan pantai Ayah di sebelah barat.

Kontur pantai semenajung itu sungguh curam. Tak ada bibir pantai berpasir. Yang ada hanya dinding karang terjal. Dinding kokoh yang setiap saat melemparkan kembali setiap gulungan ombak yang menghajarnya.

Mataku menangkap kelebatan sekelompok walet yang terbang di atas laut lalu hilang ke balik bukit. Aku pikir, mereka pasti bersarang di dalam gua-gua yang terdapat di sepanjang dinding karang curam itu.

Pikiran itu, tanpa terkontrol, tiba-tiba saja membersitkan ingatan tentang seorang anak desa bernama Si Burung. Dia sebenarnya tak pernah ada. Si Burung hanyalah tokoh anak kecil rekaan Simon Franke dalam novel “Si Burung - Tjeritera pemetik sarang burung lajang-lajang”.

Seingatku, novel itu adalah hasil terjemahan Nur St. Iskandar dari novel aslinya berbahasa Belanda, “Si Boeroeng bij de Javaanse vogelnestjesplukkers”. Novel yang mengisahkan kehidupan para pemetik sarang walet di pantai selatan Kebumen.

Aku membaca novel itu untuk pertama kalinya, dan hanya sekali itu saja, tahun 1975. Waktu itu aku baru duduk di kelas 3 SMP di sebuah seminari di kota Pematang Siantar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun