Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Suatu Sore Menghangati Pertemanan di Kopitiam Kok Tong Siantar

5 Oktober 2025   17:05 Diperbarui: 6 Oktober 2025   08:47 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dapur penyeduhan kopi di kopitiam Kok Tong Siantar (Dokumentasi Pribadi)

"Saya pesan kopi susu." Lae Jay menyebut pesanannya. Aku pesan yang sama. Pastor Hen juga nunut.  Mungkin karena dia seorang Kapusin, jadi warna kopinya harus senada warna jubahnya, capuccino.

Ada alasan mengapa aku ikut memesan kopi susu. "Bubuk kopi Kok Tong itu paling pas untuk kopi susu," kata Lae Jay tiga bulan sebelumnya, saat aku bercerita tentang bubuk kopi Kok Tong -- dapat oleh-oleh dari pelatihan literasi di SMCS. Aku percaya kata-katanya sebab, selain jago musik, Lae Jay itu juga khatam soal perkopian. 

Kopi susu pesanan kami (Dokumentasi Pribadi)
Kopi susu pesanan kami (Dokumentasi Pribadi)

Kedai kopi Kok Tong menyajikan hanya dua jenis seduhan: kopi hitam dan kopi susu -- variasi panas atau dingin.  Betul-betul kopitiam asli. Karena kopi harus punya teman, maka kedai itu menyediakan roti srikaya bakar. Hanya itu. Tapi kalau tak suka roti, di samping kedai itu ada penjaja bakpao. Itu yang kami pilih, nikmat tapi murah.

Pada sruputan pertama, lidahku merasakan rasa nikmat yang pulen. Tak terlalu medok, juga tak terlalu manis; rasa pahit yang bikin nagih seperti menggoda lidah. Bedalah pokoknya dengan kopi susu di cafe-cafe Jakarta. Padahal untuk tiga gelas kopi susu Kok Tong kami membayar hanya Rp 45.000. Uang segitu di Jakarta cuma bisa beli secangkir kopi, kan? 

Rasa melangit harga membumi. Mungkin itulah prinsip bisnis Lim Tie Kie, perantau muda asal Fu Jian, saat pertama membuka kopitiamnya itu di Siantar pada tahun 1925. Waktu itu kopitiamnya dinamai Heng Sen Chan. Nama Kok Tong atau Massa Kok Tong disematksn generasi pewarisnya.

Tie Kie melakukan sendiri keseluruhan proses produksi kopinya di hulu. Mulai dari pemilihan dan pemilahan (selecting and grading) biji kopi terbaik, pemanggangan (roasting), penggilingan (grinding), peracikan (compounding Arabika dan Robusta), sampai penyeduhan (brewing) kopi. 

Aku melongok ke dapur kopitiam itu. Betul, semua peralatan tetap serba manual. Tak ada mesin giling dan seduh kopi di dapur itu. Stok bubuk kopi adalah bubuk segar hasil penggilingan sendiri. Lalu kopi tetap diseduh secara tradisional, menggunakan saringan kain. 

Itulah "rahasia dapur" kopitiam Kok Tong untuk memastikan sajian kopi segar bermutu tinggi dengan rasa nikmat berkelas untuk para pelanggannya. "Rahasia dapur" yang diwariskan, dilestarikan dan disempurnakan sejak dari generasi pertama (Lim Tie Kie) ke generasi kedua (Lim Kok Tong), ketiga (Lim Ming), sampai kini generasi keempat (Vincent Forest).

Setiap tegukan dari secangkir kopi harus menyajikan kenikmatan yang menambah kehangatan pertemanan. Sebab jika tidak begitu, orang tidak akan datang ke kopitiam. Orang minum kopi di kedai kopi untuk alasan pertemanan, hanya pertemanan.

Di kopitiam Kok Tong tak ada orang datang minum secangkir kopi untuk tujuan menyendiri. Seseorang datang untuk bertemu dengan teman-teman di situ. Atau satu kelompok pertemanan datang minum kopi ke situ untuk menghangatkan pertemanan mereka. Istilah kerennya "bersosialisasi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun