Beda moda kendaraan umum beda pula moda emosi penumpang.
Suatu perjalanan dengan moda transportasi umum bukan sebuah proses fisika semata. Maksudku bukan semata soal perpindahan sebuah benda dari satu titik ke titik lainnya, dengan segala perhitungan kecepatan (v = s/t), percepatan (a=Δt/Δv), dan gesekan roda pada aspal (fk = μk N).
Lebih dari sekadar proses fisika, perjalanan dengan kendaraan umum itu juga adalah sebuah proses psikologis. Atau, kalau istilah ini terlalu akademis, sebut saja proses emosional. Maksudku perjalanan itu menyebabkan fluktuasi emosi: turun-naik dan congkah-cangkih seperti ruas jalan tol MBZ.
Hal itu benar-benar kualami pada suatu pagi sekitar dua minggu yang lalu. Tepatnya pada hari Kamis, 8 Agustus 2025. Dalam perjalanan ziarah ke Gua Maria Bukit Kanada di Rangkasbitung, istriku dan aku menumpang tiga moda angkutan umum: mobil sewaan daring, kereta komuter, dan angkot.Â
Pengalaman menumpang tiga moda angkutan itu ternyata membentuk kondisi emosional yang saling berbeda dalam diriku: marah, nyaman, dan damai. Berikut ini ceritanya, tanpa rumus-rumus Fisika di atas.
Marah di Mojol
Pagi itu, sekitar pukul 06.05 WIB, istriku dan aku menumpang mobil ojek online (mojol) ke Stasiun Kebayoran Lama. Dari situ, menurut rencana, kami akan menumpang kereta komuter pukul 06.41 WIB ke Rangkasbitung.Â
Awalnya, saat penjemputan ke alamat rumah, baik-baik saja. Tepat waktu, supir menyapa ramah, mobil bersih luar dalam. Kesannya perjalananan akan lancar-lancar saja.
Tapi, seperti mulut menteri dan politisi Senayan, situasi perjalanan memang tak selalu bisa ditebak. Masalah mulai timbul saat di pertigaan jalan keluar dari rumah, sopir langsung membelokkan mobilnya kanan. Bukan belok ke kiri seperti yang kupikirkan dan biasa kujalani.Â
Pilihan sopir belok kanan itu menjadi masalah karena hal itu berarti akan melintasi jalur padat di pagi hari dengan delapan titik traffic light. Belok kiri lebih baik karena itu berarti akan melewati jalur agak kosong dengan hanya lima titik traffic light.