Aku belum pernah dengar nama nasi liwet itu. "Dimas, kamu tahu di mana nasi liwet Bu Painah?" Kutanya adik sepupuku.Â
"Oh, itu di pojokan lampu merah Widuran, seberang Pegadaian, Mas." Owalah, dekat dengan serabi Bu Sri Yatno rupanya.Â
"Enak?"
"Ya, enak, tapi mahal, Mas." Lha, piye, tho. Ono rupo ono rego, ada mutu ada harga. Adik sepupuku ini maunya makanan bergizi tapi gratis. Ya, sana kalau gitu, balik jadi murid SD lagi.
Selepas magrib, aku dan istriku dengan perut lapar melangkah pasti menuju warung tenda nasi liwet Bu Painah di Widuran. Warung itu hanya buka malam hari, mulai pukul 18.00 WIB. Tempatnya persis di pojokan perempatan Jalan Widuran dan Jalan Arifin, seberang Pegadaian.Â
Istriku dan aku menjadi pengunjung pertama. Kami mengambil tempat duduk di bangku pada sisi etalase kecil, tempat segala isi dan kondimen nasi liwet ditata. Bu Painah, pemilik usaha, duduk di belakang etalase, siap meracik nasi liwet untuk tetamu.
"Bu, kami minta dua porsi, ya. Tanpa ati ampla." Aku memesan, tanpa jeroan ayam. Bukan gak suka, tapi ikut nasihat dokter.
Bu Painah langsung meracik. Gerakannya tampak pelan, seakan air mengalir tanpa riak, tapi pasti. Perempuan tua itu bekerja dalam diam, nyaris sangat serius.
"Sudah lama jualannya, Bu?" Aku memecah kebisuan.
"Sejak tahun lapan puluh lima," jawabnya pendek, tanpa menoleh. Pandangannya fokus pada isi etalase, tangannya sibuk memotong, menyendok, dan menjumput ini dan itu. Hemat kata, banyak kerja.
Tak lama kemudian, dua porsi nasi liwet dalam pincuk daun pisang di atas piring sudah pindah ke tangan kami. Isinya, ya, nasi gurih santan, sayur labu siam berkuah disiramkan, telur bacem dibelah dua, suwiran daging ayam opor, irisan tahu tim, serta kondimen areh dan sambal goreng rawit merah.