Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Adalah Pengalaman yang Tak Dihargai

27 Februari 2023   09:19 Diperbarui: 27 Februari 2023   13:22 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Profil Pelajar Pancasila (Diambil dari sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id)

Saya dikeroyok rekan-rekan guru dalam satu WAG lantaran membagikan pesan seperti judul artikel ini.

Macam-macamlah. Ada yang mau nyate -- yah, tinggal cegat abang tukang sate, kan. Ada yang mau nyolong susu sapi jantanku -- ada rekan guru yang percaya sapi jantan punya air susu. Ada pula yang ..., ah, sudahlah.  

Perasaan, kalau saja kejadiannya bukan di WAG, tapi luring, saya sudah pasti terbaring koma di rumah sakit -- atau di rumah, sakit. Sambil di media daring dan medsos viral berita "Seorang Lansia Dianiaya Sekelompok Guru Sampai Koma".

Lalu akan viral pula tagar #SaveLansia dan #TangkapGuru.

Wah wah wah. Negeri ini memang absurd. Yang gak masuk akal terjadi dan, sebaliknya, yang masuk akal gak terjadi.

Saya sebenarnya membagikan pesan itu sebagai respon pada seorang rekan guru yang membagikan artikel "Pengalaman adalah Guru yang Berharga" (cari sendiri di Kompasiana). 

Nah, itu dia pemicu tanya.

Kalau pengalaman adalah guru yang berharga, apakah (menjadi) guru itu pengalaman yang dihargai?

Sebenarnya saya ingin mendapat respon berdasar pengalaman rekan-rekan guru. Apakah mereka merasa dihargai oleh para stakeholder? Murid, orangtua murid, dan pemerintah?

Sebab saya pernah beberapa kali membaca berita guru dianiaya muridnya. Juga, berita guru dianiaya orangtua muridnya. Belum lagi berita guru dipersekusi atau dibully.

Hal-hal seperti itu, kan, absolutely gak menghargai banget. Iya gak, sih?

Lalu, penghargaan dari pemerintah?

Indikatornya simpel. Apakah gaji guru sudah mencukupi untuk menyokong kehidupan yang yang layak keluarga guru dengan dua atau tiga anak? Ini guru tetap, ya. Bukan guru honorer yang nilai honornya menghina.

Kalau ada yang bilang mencukupi, lalu kenapa tak sedikit guru yang nyambi cari tambahan penghasilan. Ada yang jadi guru les, jadi supir angkot, bahkan tukang ojek? Gimana bisa fokus ngajar, coba.

Belum lagi ada larangan menerima hadiah dari murid atau ortu murid. Katanya hal semacam itu terindikasi sogokan, merendahkan harkat guru. Jadi guru itu kan harus tulus-ikhlas -- astaga, berat banget jadi guru.

Padahal hadiah-hadiah semacam itu kan lumayan, ya. Coba dipikir semisal ada murid yang menghadiahkan mobil Rub Icon. Kan lumayan banget kalau dijual, tuh. Jangan dipakai. Entar jadi arogan di jalanan, lho. Atau terangsang menganiaya guru lain yang katanya melecehkan guru kesayangan.

Lantas, kenapa sih saya mempertanyakan penghargaan pada guru itu?

Ya, karena prihatin saja.

Coba simak Kurikulum Merdeka belajar yang digagas Mas Menteri Nadiem itu. Apa targetnya? Menghasilkan Profil Pelajar Pancasila, bukan?

Profil Pelajar Pancasila itu begini: bertakwa, kreatif, gotongroyong, berkebhinekaan global, bernalar kritis, dan mandiri.

Itu artinya fungsi-fungsi Kementerian Agama, Kementerian Koperasi dan UKM, Kemendagri, BPIP,  agama-agama, dan lain-lain dibebankan kepada guru. Selain fungsi-fungsi Kemendikbudristek, tentu saja.

Lha, itu artinya masa depan bangsa -- yakni generasi muda -- sepenuhnya jadi beban tanggungjawab guru, dong.

Apa dipikir para Pak Guru itu Superman dan para Bu Guru Sepermin?

Sependek pengetahuanku, tanggungjawab utama guru itu fokus membantu murid untuk menjadi orang muda bernalar kritis dan kreatif. Sisanya itu, ya, tanggungjawab lembaga atau pranata lainlah.

Emangnya para guru kita sudah sangat Pancasilais sehingga dinilai mampu membentuk profil pelajar Pancasila? Teori mungkin, ya, paling tidak hafallah isi buku ajar PPKn.

Atau, ini, gajinya. Apakah penentuan gaji atau honor guru itu sudah Pancasilais? Maksud saya, sudahkah sesuai dengan Sila ke-5, Keadilan Sosial bagi Rakyat Indonesia?

Jadi, lupakan sejenak jargon guru pahlawan tanpa tanda jasa. Juga jargon ing ngarsa sung tulodo, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. 

Kita jawab dulu pertanyaan ini dengan jujur. Sudahkah (menjadi) guru itu pengalaman yang dihargai?

Jika tidak, lupakan saja Kurikulum Merdeka Belajar dan target Profil Pelajar Pancasila itu.

Merdekakan dulu guru kita! (eFTe)

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun