Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Joki, Immoralitas, dan Gagalnya Perguruan Tinggi

20 Februari 2023   21:06 Diperbarui: 8 Maret 2023   08:58 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan perjokian ilmiah merupakan bentuk ketidakjujuran dalam kerja riset akan menghasilkan kebohongan berkedok sains. Sumber: Kompas.com

Perjokian akademik di lingkungan pendidikan tinggi adalah cerita lama. Gejala itu sudah terdeteksi setidaknya pada akhir 1980-an. Seiring merebaknya jasa pengetikan merangkap pembuatan skripsi di sekitar kampus.

Cakupan prakteknya pun luas. Mencakup jenjang pendidikan S1, S2, bahkan sampai S3. Melibatkan baik mahasiswa maupun dosen. Mulai dari penulisan makalah, skripsi, tesis, disertasi, hingga artikel jurnal ilmiah terindeks.

Walau cerita lama, baik juga masalah itu diangkat ke permukaan. Ada relevansinya dengan otokritik Mendikbudristek Nadiem Makarim tentang  mutu rendah produk Perguruan Tinggi (PT) kita.

Kata Mas Menteri Nadiem pada satu acara di UI,  "Saat ini Indonesia sedang memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi . ... kelulusan tidak menjamin kesiapan berkarya, akreditasi tidak menjamin mutu, ... masuk kelas tidak menjamin belajar." [Mendikbud: Gelar Tak Menjamin Kompetensi",  beritasatu.com, 4/12/2019]

Dalam satu kalimat yang lebih lugas, bisa dikatakan begini: "Kompetensi dan kesiapan kerja lulusan PT rendah karena mereka menjalani proses belajar-mengajar bermutu rendah."

Praktek perjokian akademik selama proses perkuliahan,  mulai dari penulisan tugas makalah, artikel jurnal,  sampai tugas akhir (skripsi, tesis, disertasi) adalah salah satu indikator mutu rendah itu. 

Saya tak hendak mengatakan semua mahasiswa dan dosen terlibat perjokian, entah sebagai joki atau pelanggan. Tapi fakta hal itu terjadi, sekecil apapun yang terungkap, jelas menandakan ada yang salah dengan PT kita. 

Lemahnya Penguasaan Metodologi Sains

Salah satu faktor penyebab merebaknya perjokian akademik adalah kelemahan mahasiswa dan dosen dalam penguasaan metodologi sains.

Metodologi sains adalah ilmu tentang metode riset saintifik. Didalamnya tercakup filsafat sains yang membahas hakekat obyek sains (ontologi), cara mendapatkan pengetahuan yang benar tentang obyek itu (epistemologi), dan nilai/manfaat pengetahuan tersebut (aksiologi). Lalu secara khusus elaborasi epistemologi, meliputi paradigma, strategi, metode, dan teknik riset saintifik.

Penguasaan metodologi sains itu wajib sebagai dasar pembentukan kemampuan berpikir logis dan sistematis pada mahasiswa dan, seharusnya, juga dosen -- yang wajib meningkatkan (upgrading) kemampuan metodologis.

Masalahnya, kuliah metodologi sains di PT umumnya cenderung dangkal. Filsafat ilmu dikesampingkan. Hanya membicarakan aspek metode riset sains, seperti metode kuantitatif (survei, eksperimen) dan metode kualiatif. Itupun tebanya cenderung sempit dan teknis.

Akibatnya, mahasiswa dan pada gilirannya juga dosen lemah dalam kemampuan berpikir saintifik, yaitu berpikir logis dan sistematis. Sebab kemampuan ini sebenarnya dibangun lewat diskusi filsafat ilmu, khususnya epistemologi.

Dasar riset saintifik adalah penguasaan logika dan sistematika.  Artinya, mahasiswa dan dosen harus mampu berpikir logis dan sistematis. 

Tanpa kemampuan itu, mahasiswa atau dosen tidak akan mampu membangun sebuah disain riset. Dia tidak akan mampu membangun misalnya logika  keterkaitan antara masalah, pertanyaan, teori, konsep, variabel, hipotesis, data, metode, dan teknik riset secara sistematis.

Ketakmampuan berpikir logis dan sistematis itu menyebabkan mahasiswa atau dosen malas berpikir saat dihadapkan pada keharusan membuat tugas makalah, skripsi, tesis, ataupun disertasi. 

Kemalasan berpikir itu mendorong mereka mencari jalan pintas, membayar joki akademik untuk mengerjakan tugas-tugas itu. 

Mentalitas menerabas semacam itu lalu difasilitasi, sekaluan diamplifikasi,  oleh para "perajin karya ilmiah (karil)" yang kemudian dikenal sebagai  "joki akademik". 

Perjokian akademik lantas berkembang menjadi sebuah lembaga yang tak diakui keberadaannya (unsanctioned institutions), tetapi eksis karena berfungsi memenuhi kepentingan kelompok mahasiswa dan dosen pengambil "jalan pintas".

Ilustrasi suasana kuliah (Foto: Pexels via idntimes.com)
Ilustrasi suasana kuliah (Foto: Pexels via idntimes.com)

Masalah Immoralitas

Tidak ada satu alasanpun untuk membenarkan perjokian akademik.  Hanya ada satu kata untuk kegiatan tersebut: Immoral!

Suatu perbuatan disebut immoral jika pelaku, berdasar norma yang berlaku, sangat sadar dan tahu bahwa perbuatannya buruk/salah tetapi secara bersengaja tetap melakukannya. 

Dengan batasan itu, maka joki akademik atau perajin karil dan mahasiswa/dosen pengguna jasa joki secara bersama-sama telah melakukan tindakan immoral.  

Norma akademik yang dilanggar di situ adalah integritas atau kejujuran dan otentisitas atau keaslian yang harus melekat dalam sebuah kerja riset dan karil sebagai hasilnya. 

Joki akademik jelas sadar dan tahu bahwa tindakannya membuat karil pesanan bagi orang lain melanggar norma/etika akademik, tapi dia sengaja melakukannnya demi uang. 

Seorang joki tak pernah benar-benar melakukan riset, teoritis ataupun empiris. Dia hanya bermodal template aneka karil dan stok teks dan data berupa skripsi, tesis, dan disertasi. Tinggal memasukkan teks dan data ke dalam template yang diinginkan, dengan perubahan atau modifikasi seperlunya. Jika dibanding dengan chatbot 4.0 ChatGPT, perjokian itu mungkin semacam chatbot 1.0.

Mahasiswa atau dosen juga sadar dan tahu bahwa tindakannya memesan karil kepada joki akademik telak-telak melanggar norma/etika akademik, tetapi dia bahkan proaktif melakukannya.

Tindakan immoral mahasiswa/dosen pengguna jasa joki akademik itu sejatinya juga berpangkal  pada lemahnya penguasaan metodologi sains, khususnya filsafat sains yang membahas aspek epistemologi.

Epistemologi secara keras menekankan syarat integritas (kejujuran) dan otentisitas (keaslian) dalam proses pencarian dan penemuan kebenaran saintifik. 

Ketakjujuran dalam kerja riset akan menghasilkan kebohongan berkedok sains. Itu akan merusak reputasi validitas atau kredibilitas sains.

Sedangkan ketakaslian hasil riset berimplikasi repetisi (pengulangan hal serupa) atau bahkan  plagiariasme -- sesuatu yang sangat nista di ranah sains.

Ketakjujuran dan ketakaslian riset sains pada karil hasil kerja joki itu merugikan masyarakat dalam dua cara. Pertama, memberikan pengetahuan palsu atau bohong-bohongan. Kedua, memberikan informasi basi, pengulangan dari yang sudah ada.

Dengan kata lain, karil hasil kerja joki tak punya nilai manfaat (aksiologi) bagi masyarakat. Jika ada nilainya, maka itu hanya nilai uang yang dibayarkan mahasiswa/dosen kepada joki sebagai upah.

Tidak berlebihan jika dikatakan makalah, skripsi, tesis, disertasi, dan artikel jurnal ilmiah yang dihasilkan joki itu pada akhirnya hanyalah "sampah akademik".

Kegagalan Perguruan Tinggi

Pada titik ini menjadi terang bahwa gejala perjokian akademik itu adalah puncak gunung es kegagalan  PT kita dalam penyelenggaraan pendidikan.

Di atas sudah diungkap tiga kegagalan mendasar yaitu:

  • Kegagalan pembentukan cara berpikir saintifik yaitu logis dan sistematis pada mahasiswa/lulusan.
  • Kegagalan pembentukan karakter khususnya terkait moral akademik yang kuat pada mahasiswa/lulusan.
  • Kegagalan pendampingan mahasiswa/dosen untuk melakukan riset saintifik dan menghasilkan karya ilmiah yang memiliki nilai kejujuran dan otentisitas. 

Karena kegagalan itu bersumber pada internal PT, maka ketimbang memerangi para joki immoral, lebih tepat melakukan pembenahan sistem akademik secara internal.

Sekurangnya empat langkah solutif berikut ini dapat dipertimbangkan.

Pertama, revisi silabus metodologi sains dengan memasukkan materi filsafat sains untuk membentuk pola pikir logis dan sistematis, sekaligus kreatif dan inovatif, pada mahasiswa. 

Saya pernah selama 15 tahun menerapkan hal itu dalam kuliah metodologi. Hasilnya mahasiswa dapat dengan relatif lancar menyusun rencana riset yang sistematis.

Kedua, integrasi topik etika akademis dalam perkuliahan metodologi sains, sebagai cara untuk membentuk  moralitas yang kuat pada mahasiwa, khususnya terkait nilai integritas dan otentisitas dalam kerja saintifik.

Ketiga, penyediaan pilihan bagi mahasiswa untuk jalur non-skripsi (praktisi) dan skripsi (teorisi/akademisi).  

Sebab tidak semua mahasiswa mampu menerapkan pola pikir logis dan sistematis dalam kerja riset saintifik. Sebagian dari mereka, bahkan mungkin mayoritas, lebih mampu menerapkannya dalam praksis, semisal praktek kerja lapangan atau magang kerja.

Sejumlah PT sudah menerapkan pola itu. Tapi perlu lebih ditingkatkan dan diperluas dalam konteks implementasi program Kampus Merdeka.

Anak saya misalnya magang di sebuah perusahaan start-up dalam rangka Kampus Merdeka. Hasil kerja magangnya, dibuktikan dengan laporan,  ternyata dapat dikonversi ke dalam sejumlah mata kuliah. Lebih penting lagi, anak saya dapat belajar teori dan konsep sains mana saja yang benar-benar relevan dan diperlukan dalam dunia kerja.

Keempat, peningkatan dan penyegaran kemampuan metodologis dosen serta pendampingan penulisan artikel ilmiah untuk jurnal internasional. 

Di PT mungkin hanya dosen pengampu  metodologi sains dan mereka yang tergabung dalam lembaga riset saja yang secara konsisten meningkatkan kemampuan di bidang metodologi sains. Itu karena tuntutan tugasnya.

Mayoritas dosen hanya terfokus pada mata kuliah disiplin sains. Akibatnya mereka kurang mengikuti perkembangan terbaru metodologi sains. Sementara pengetahuan metodologi lamanya sudah agak basi. 

Tak heran bila  kemudian banyak dosen mengalami kesulitan saat dituntut menulis artikel untuk jurnal ilmiah terindeks nasional dan dunia. Suatu syarat mutlak untuk menjadi guru besar "kelas dunia".

Empat langkah tersebut bukanlah obat bagi segala kegagalan pendidikan di PT. Tapi dengan itu PT  dapat membentengi diri dari gerogotan joki akedemik, para perajin karil yang akan semakin canggih dengan kehadiran  chatbot berbasis AI seperti ChatGPT. (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun