Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Strategi Survival Mahasiswa Miskin di Rantau Jawa Awal 1980-an

6 Juli 2022   12:02 Diperbarui: 11 Juli 2022   03:32 2064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapal laut, moda utama transportasi mahasiswa perantau dari Toba ke Jawa tahun 1980-an (Foto: kompas.com)

Untuk pembaca yang tergolong pelaku Migrasi 1.0 atau 2.0, anggap tulisan ini sebagai nostalgia. Dulu meringis, sekarang pringas-pringis.

Catat, subyek tulisan ini adalah "mahasiswa miskin", dan substansinya "strategi survival". Jadi sudah pasti yang akan diceritakan di sini adalah cara-cara mencapai "kepuasan optimal" dengan "dana minimal". 

Sebagai latar ajang, perlu diketahui Poltak bermigrasi atau merantau kuliah ke Bogor awal 1980-an. Kiriman wesel bulanan dari kampung waktu itu Rp 30,000 per bulan. Ongkos bemo di kota Bogor masih Rp 25, bubur kacang ijo ketan item Rp 25, dan tiket bioskop Rp 300 - 1,000. Tiket masuk Kebun Raya Rp 25 untuk pelajar/mahasiswa, atau gratis jika lewat gorong-gorong atau kolong jembatan. 

Informasi lainnya. Biaya kuliah di IPB waktu itu Rp 25,000 per tahun, dicicil Rp 12,000 per semester. UMR kota Bogor tercatat Rp 600 per hari, atau Rp 18,000 per bulan (30 hari). Harga beras Rp 250-350 per kg, harga gula pasir Rp 300 per kg. Kurs US$ 1 adalah Rp 626, sehingga nilai wesel bulanan Poltak adalah US$ 47.92.

Jelas Poltak tergolong mahasiswa miskin di awal 1980-an itu. Lantas, bagaimana cara Poltak -- dan kawan-kawan sesama mahasiswa mahasiswa rantau miskin -- bertahan?

***

Berikut adalah sejumlah strategi survival yang diterapkan Poltak. Sekali lagi, ini adalah cara-cara awal 1980-an di Bogor. Sekarang mungkin terdengar absurd, sekurangnya nggilani.

Modal jaringan sosial seasal. Pertama tiba di Bogor, Poltak tidak kenal seorangpun. Eloknya, kakak kelasnya di SMA -- yang tak kenal juga karena beda tiga tahun -- sudah mencarinya pada hari pendaftaran ulang di kampus IPB.

Jaringan sosial se-SMA itu kemudian menjadi jalan masuk Poltak ke jaringan sosial sedaerah asal, lazimnya sesuku juga. 

Jaringan sosial seasal yang primordial itulah modal utama perantau untuk survival. Jaringan itu menjadi sumber informasi tentang kontrakan/kost, perkuliahan, kampus, dan lain-lain. Juga sumber bantuan dalam kondisi darurat, semisal sakit atau kesulitan mendapat kontrakan.

Lokasi tinggal di perkampungan. Pasti murah biaya kontrak kamar/rumah atau kost di situ. Memang situasinya padat, sumpek, dan riuh-rendah. Tak apalah. Kamar kontrakan/kost cuma dihuni malam hari. Siang, Poltak seharian di kampus, kuliah atau belajar di perpustakaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun