Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Orang Batak Tapi Tak Bisa Cakap Batak

6 Desember 2021   06:02 Diperbarui: 6 Desember 2021   08:55 1717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Contoh pustaka beraksara dan berbahasa Batak asli tentang mantra tolak bala, koleksi KITLV di Belanda (Foto: wikipedia.com)

"Hata Batakmu marpasir-pasir."  Seorang kawan, yang mengklaim diri Batak Toba totok, menegurku saat makan siang di lapo.

Dia menilai bahasa Batakku sangat buruk. Marpasir-pasir, mengandung pasir katanya. Ibarat beras yang tercampur pasir. Buruk.

Sebenarnya saya mau mengritik balik kawan itu. Tapi saya urungkan. Tak ingin adu argumen di depan saksang dan arsik. Mengkhianati kenikmatan itu.

Tadinya saya mau bilang, bahasa Batak kawan itu juga marpasir-pasir. Sebab tercampuri oleh bahasa Indonesia. 

"Pasir" itu bukan kosa kata Batak. Dalam bahasa Batak Toba, pasir disebut rihit. Harusnya dia bilang marrihit-rihit.

O ale dongan, sebelum mengritik kawanmu, periksa diri sendiri dululah.

***

Sejatinya, sekarang ini susah menemukan orang Batak yang sehari-hari cakap Batak murni, tak berpasir-pasir. 

Percakapan orang Batak di pasar, gereja, kantor, bahkan acara adat sudah tercampur oleh serapan bahasa Indonesia atau Melayu.  

Ambil contoh kalimat ini, "Mate lampu gabe golap di jabu."  Itu bahasa Batak harian. Tahu artinya, kan? "Mati lampu sehingga gelap di rumah". 

Bahasa Batak asli untuk contoh itu adalah "Mintop sulu gabe holom i bagas". Mintop adalah istilah mate, mati untuk sulu atau  palito, lampu. Holom adalah kata asli untuk golap, kata serapan dari gelap (Ind.) Bagas adalah kata yang lebih tua dari jabu atau ruma, rumah.

Serapan kata asing, khususnya Melayu/Indonesia dan juga Belanda, sudah terjadi setidaknya sejak 1300-an.  Hubungan dagang dengan saudagar Melayu di Barus telah menyumbang serapan bahasa Melayu. 

Pendudukan Belanda sejak awal 1900-an membuka Tanah Batak ke Sumatera Timur. Terjadi interaksi dengan masyarakat Melayu Deli. Sehingga jumlah kata Melayu yang diserap semakin banyak.

Bahasa penjajah Belanda juga menyumbang sejumlah kata. Seperti prah (vracht, truk barang), aterek (achteruit, mundur), porhangir (voorganger, penatua gereja), dan bisoloit (besluit, surat putusan, ijazah).

Kata atau bahasa Batak asli kini mungkin hanya digunakan dalam tiga peristiwa. 

Pertama dalam upacara adat saat mengujarkan umpasa, petitih asli Batak.  Misalnya, saat hula-hula memberkati boru maka diucapkan petitih ini:  "Hu sanggar ma amporik, hu lombang ma satua; Sai sinur na pinahan, gabe na niula." Artinya: "Burung pipit bersarang di pimping, tikus bersarang di jurang; Semoga ternak gemuk beranak-pinak, usahatani panen berlimpah."

Kedua, dalam laku hadatuon, perdukunan. Misalnya  tabas pagar, mantra tolak bala sebagai berikut: "Pagar hami so hona begu so hona aji ni halak”. Artinya: "Lindungilah kami dari kejahatan setan dan santet orang jahat."

Ketiga, dalam andung, ratapan kematian. Bahasa andung ini sangat spesifik. Jarang digunakan sehari-hari. Semisal simangkudap untuk pamangan atau baba, mulut. Simanganggo untuk igung, hidung. Simalolong untuk simanonggor, mata. Simanangi untuk sipareon, pinggol, telinga. Sitarupon untuk obuk, rambut. Dan lain sebagainya. 

Bisa dikatakan, untuk sekarang ini, hampir tak ada orang Batak di kampung halaman Toba, apalagu di perantauan, yang bisa mengklaim diri masih menggunakan hata Batak na polin,  bahasa Batak asli.

Semua sudah tercampur oleh kata serapan dari bahasa lain, terutama Melayu/Indonesia. Hanya beda kadar saja. Semakin ke pelosok tanah Batak, semakin sedikit "pasir"nya. Semakin ke pusat kota besar, semakin banyak "pasir"nya.

Akan halnya orang Batak di kota, ciri kosmopolit membuat mereka cenderung mengesampingkan bahasa Batak. Penggunaan bahasa itu dinilai indikasi keterbelakangan. Warga kosmopolit, ya, pakai bahasa Indonesia, dengan sedikit bumbu bahasa Inggris.

***

Sebenarnya sudah muncul keprihatinan di kalangan orang Batak sendiri. Kalau bahasa Batak namarihit-rihit itu dibiarkan, tidak dikoreksi, lama-lama bahasa Batak asli akan punah. Seiring meninggalnya para tetua penutur asli.  

Sekarang ada kecenderungan anak Batak kota menggunakan bahasa Indonesia bercampur kosa kata Batak. Bukan sebaliknya. Semisal umpatan ini: "Batungkik pula kau. Kutumbuk nanti moncong kau itu. Palak kali awak kau bikin." (Arti kata: tungkik, congek, berulah; tumbuk, tinju; palak, naik darah).

Tahun 1980-an ada satu lagu Batak, gubahan penyanyi Anoy Simanjuntak, menggunakan bahasa Batak gado-gado. Campur bahasa Batak, Indonesia dan Inggris. Terkesan lucu, tapi lagu itu sejatinya sindiran terhadap rusaknya bahasa Batak.  

Lirik lagu berjudul  Ai Namassam Mana Do (Macam Mana Pula Ini) itu begini:

"Ai ai ai namassam mana do, dibikkin kau nona,
mambuat buat roha ni saya, holan tu you.

Ai ai ai namassam mana do, dibikkin kau nona.
mambuat buat roha ni saya, holan tu you.

Begitu banyak ladies ladies yang kukenal.
Tapi hanya kau yang tarpangan rohakku. Namassam mana do, namassam mana do.
dibikkin kau nona."

Tak perlu fasih bahasa Batak asli untuk memahami arti lirik lagu itu. Cukup dengan mengtahui arti beberapa kosa kata Batak di lagu itu: mambuat, mengambil; roha, hati; holan, hanya; tarpangan rohakku, kena di hatiku. Gampang, kan?

Prihatin itu baik tapi, lebih baik lagi, melakukan sesuatu untuk mencegah kepunahan bahasa Batak. 

Menjadikan bahasa Batak, dan aksara Batak, sebagai muatan lokal kurikulum SD, SMP, dan SMA adalah satu solusi. Bisalah berharap pada pemerintah daerah Toba, Samosir, Tapanuli Utara, dan Humbang Hasundutan untuk memastikan itu. Khususnya dinas-dinas pendidikan dan kebudayaan di sana.

Lalu, penting juga mempertimbangkan program Hari Wajib  Bahasa Batak setiap minggunya di kantor-kantor pemerintah daerah. Bukan asal berbahasa Batak, tapi menggunakan bahasa Batak asli.

Itu bukan perlawanan terhadap Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional. Tapi pencegahan agar Bahasa Nasional tak "membunuh" ragam bahasa etnis, bagian dari kebhinnekaan Indonesia.

Solusi lain yang sederhana, tapi strategis, adalah membuat dan mengembangkan situs-situs daring berbahasa Batak. Ini bisa dilakukan setiap warga Batak yang mencintai budaya, secara khusus bahasa ibu atau etnisnya.  Kontennya bisa apa saja, yang penting logis, etis, dan estetis serta, yang terpenting, menggunakan bahasa Batak asli.

Ise do na ingkon mamungka? Manang ise nampuna parbinotoan, ingkon ibanama nian na mamungka ulaon na uli on.

Siapakah yang harus memulai? Barang siapa yang memiliki pengetahuan, hendaknya dia yang merintis pekerjaan yang baik ini. (eFTe)

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun