Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Tak Ada Tahi, Tak Ada Kompasiana

11 November 2021   15:27 Diperbarui: 11 November 2021   19:37 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar puisi FT di Kompasiana (Dokpri)

"Meskipun tahi yang hina itu hanya bisa terhanyut menyusuri arus sungai, ia tetap menyuburkan dan membawa berkah. Maka kesimpulannya, belajarlah darinya. Jadilah tahi." -David Abdullah

Petikan kalimat-kalimat di atas adalah komentar David Abdullah, kompasianer cerlang, pada puisi kenthir Engkong Felix, "Seperti Seketul Tahi Hanyut", yang tayang tadi pagi di Kompasiana (K. 11/11/21).

Itu sebuah  komentar yang kocak sekaligus cerdas.  Mengandaikan kecerdasan intelektual dan emosional yang tinggi. Sebab hanya manusia cerdas, terutama secara emosional, yang mampu belajar dari hal-hal kecil, rendahan, dan hina. 

Orang dengan kecerdasan semacam itu juga mampu menjadikan hal-hal yang hina jadi sumber hidup.  Coba ingat tentang para penggagas daur-ulang dan bank sampah. Apakah mereka  itu orang dungu? Tidak! Pembuang sampah sembaranglah yang dungu.

Jadi, janganlah kamu pernah menganggap hina kepada seketul tahi, entah tahi apapun itu. Sebab mungkin saja kamu baru makan sayur yang dipupuk dengan rabuk organik yang terbuat dari adonan tahi manusia, sapi, kambing, dan ayam.  Atau, jika kamu makan di restoran, mungkin saja makananmu telah dimasak dengan api dari biogas yang dialirkan dari septic tank. Syukur-syukur air minummu bukan hasil olahan isi septic tank.

Tahi itu, atau apapun juga namanya, adalah residu pencernaan makanan oleh mahluk hidup yang di buang lewat anus. Tapi sebenarnya tak hanya residu pencernaan makanan.  Proses-proses sekresi lainnya dalam tubuh juga menghasilkan tahi lain yang khas.  Tahi mata disebut belek, tahi hidung disebut upil, tahu kuping disebut congek, tahi mulut/gigi disebut jigong.

Tanpa tahi, maka tidak akan ada kehidupan di bumi.  Terutama kehidupan manusia.  Tahi itu, lebih valid dari kentut, adalah bukti empiris kesehatan manusia. 

Coba bayangkan situasi ini. Kamu makan tiga kali sehari selama sebulan.  Tapi tidak sekalipun dalam sebulan itu kamu mengeluarkan tahi lewat anus.  Apa yang akan terjadi?  Tubuhmu akan menyerap residu pencernaan makanan, meracuni darah, lalu kamu akan merepotkan para penggali kuburan. Ah, tapi jika penggali kubur juga mengalami hal serupa, maka bumi akan berubah menjadi kuburan.

Begitulah. Jika selama empat  hari tubuhmu tak mengeluarkan tahi, lalu pada hari keempat tahi yang bau itu sukses keluar, maka bagaimanakah reaksimu?  Bukankah kamu akan bersyukur?  "Terimakasih Tuhan, akhirnya aku bisa buang air besar." Mungkin kamu akan traktir teman-remanmu makan soto Mas Karso untuk merayakan keberhasilan itu.

Jadi pikirkanlah betapa mulia tahi yang kau bilang najis itu.  Seketul tahi yang kamu keluarkan setiap pagi, tanda kamu sehat, tidak saja menyuburkan tanah dan tamanan yang kamu makan.  Tapi kehadirannya secara normal lewat anus membuat kamu bisa tetap sehat walafiat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun