"Begu ni amam ma, Poltak!" Â
"Bah! Begu ni amam, Alogo!"
Udara pagi di Hutabolon masih menusuk tulang sumsum. Tapi hawa di ruang kelas lima SD Hutabolon terasa panas. Poltak dan Alogo bertengkar hebat.
Umpatan begu ni amam, hantu bapakmu, itu tergolong kasar level dua. Itu semacam mendoakan kematian bapakmu.Â
Level satu, baba ni amam, mulut bapakmu. Suatu tuduhan bahwa kamu tak diajari bapakmu.
Level tiga, paling kasar, Â menyebut alat kelamin bapak atau ibumu. Maknanya, kelahiranmu sebuah kesalahan fatal.
Poltak dan Alogo sudah berhadap-hadapan. Siap menaikkan adumulut jadi  bakupukul. Kelas menjadi riuh oleh ragam jerit dan tempik. Seperti kandang ayam kemasukan musang.
"Diam semua!"
Sebuah hardikan menggelegar dari ambang pintu ruang kelas. Guru Harbangan berdiri dengan wajah keras di sana.Â
Kelas langsung kaku beku. Poltak dan Alogo diam tegak layaknya dua patung berhadapan.