Jidat Poltak melendung seukuran punggung sendok makan, bukan seukuran bakpau. Sebab dia bukan seorang politisi buron yang menabrak tiang listrik dengan mobil mewah.
Sekalipun sakit, Poltak pantang menangis. "Kalian sudah sudah kelas tiga. Sudah besar. Â Jangan cengeng. Jangan sikit-sikit menangis." Â Itu nasihat Guru Marihot pada hari pertama masuk di kelas tiga. Nasihat itu tertanam di benak Poltak.
"Menangislah kau, Poltak! Sakit kali pun jidatmu itu!" Binsar menyemangati Poltak untuk menangis. "Menangis bukan dosa, Poltak." Bistok menguatkan dorongan Binsar. Â
Poltak tersenyum kecut. Â Dia paham arah ujaran kedua teman karibnya. Â Mereka bermaksud menguatkannya.Â
Kalau sampai dia menangis, Binsar dan Bistok pasti akan menebar kabar itu di sekolah. Â Ditambahi bumbu penyedap, tentu saja.Â
Bisa saja Binsat dan Bistok bilang, "Poltak menangis mengiak-ngiak seperti babi jantan dikebiri." "Bah! Tak punya mukalah aku nanti di depan, Berta," Â pikir Poltak.
"Ada rem kenapa pula tak kau pencet!" Kakek Poltak menegur keras.
"Kan, ompung setahuku pegang rak boncengan di belakang."
"Bah! Sudah ompung lepas tadi. Tak malu kau naik sepeda dipegangi terus?"
Mendengar kehebohan di halaman, nenek Poltak keluar dari rumah. Begitu tahu apa yang terjadi, jurus andalannya langsung keluar: salep alami daun simarhuting-huting. Kali ini kaos kutang kakek Poltak yang jadi korban untuk pembebat  kepala Poltak.
Bukan Poltak kalau harus berhenti belajar naik sepeda hanya gara-gara jidat bengkak. "Kapok?" tanya kakeknya. "Tidak, ompung!" Belajar pantang mundur. Â