Hanya dalam tempo tiga hari, gula-gula susu jajaan Poltak sudah ludes. Â Laris manis. Â Dia, seorang pemain baru, Â menjadi pesaing berbahaya untuk Berta dan Tiur, pemain lama penjajaan gula-gula. Â Dua anak perempuan itu gusar bukan kepalang.
Kuncinya adalah diferensiasi dan promosi agresif, kalau merujuk pada manajemen pemasaran modern. Â Berta dan Tiur menjajakan gula-gula kristal warna-warni yang sangat umum. Â Poltak menjajakan gula-gula susu, jenis baru. Â Berta dan Tiur diam-diam saja menunggu pembeli. Â Poltak agresif menawarkan gula-gulanya sambil membualkan khasiatnya.
"Ompung, ini kukembalikan modalnya." Â Poltak menyerahkan uang receh sejumlah Rp 10 setelah tiga hari menjajakan gula-gula. Â
"Labamu berapa?"Â
"Lima rupiah, Ompung."
"Lima rupiah? Â Harusnya enam rupiah kalau kau jual tiga serupiah. Itupun masih sisa dua gula-gula."
Cengengesan, Poltak menyampaikan laporan pertanggungjawaban bisnis kepada pemodal, neneknya. Â Sebutir gula-gula untuk panglaris, dua butir diberikan pada Binsar dan Bistok, dan dua butir lagi dikemut sendiri.
"Mana, sini, Â laba lima rupiahnya."
"Sudah habis, Ompung. Beli limun aku tadi."
"Bah! Â Hu lombang an ma ho!" Â Neneknya menyumpahi Poltak, "Ke jurang sana saja kau." Â Sebuah kode keras, evaluatif, Poltak tak becus jadi penjaja gula-gula. Â
"Kalau labamu kau habiskan untuk minum limun, selamanya kau hanya jadi penjaja sebungkus gula-gula." Â Vonis sudah dijatuhkan pemodal. Itulah untuk pertama dan terakhir kalinya Poltak menjadi penjaja gula-gula di sekolahnya.