"Kita akan satu kelas!" Â Binsar dan Bistok kompak bersorak gembira, menebas kalimat Poltak.Â
Bah, ternyata tinggal kelas itu peristiwa gembira. Bukan peristiwa sedih.Â
Setidaknya hal itu berlaku untuk diri Binsar dan Bistok. Akan halnya perasaan bapak-ibunya, bukan urusan mereka. Â
"Kami tinggal kelas bukan karena dodong, Poltak."
"Bah, kalau bukan karena dodong, lalu karena apa?" Poltak membathin. Â Sambil terheran-heran, karena Binsar dan Bistok tahu pertanyaan dalam kepalanya.
"Poltak, coba kau ujarkan lagi perjanjian hariara hapuloan," Â pinta Binsar.
"O, Dewata Awal Maha Agung. Inilah perjanjian disaksikan matahari, yang kami ikat di pohon hariara hapuloan yang keramat ini. Mulai pada hari ini sampai hari yang akan datang, tali persahabatan kami bertiga tidak akan pernah putus. Bertiga kami menjadi satu, satu hati, satu derita, satu rejeki."
"Nah, itu dia. Bertiga kita menjadi satu. Satu hati, satu derita, satu rejeki. Â Satu kelas." Â Binsar menegaskan.
"Paham kau, Poltak?" Bistok minta penegasan.
"Bah! Macam mana pula ini." Garuk-garuk kepala, Poltak menggumam, bingung. Â Mendadak dia merasa dirinya anak paling dodong sedunia.
Belum sempat menjawab apa pun, karena memang tak perlu jawaban, Binsar dan Bistok sudah kompak merangkul pundak Poltak, kiri dan kanan. Â Lalu menghelanya berlari pulang menyusur jalan kampung. Â