Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #028] Sengketa Kaki Babi Bakar

7 November 2020   18:06 Diperbarui: 7 November 2020   21:54 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di penghujung Desember 1966, menjelang tengah hari, Tuhan sedang bermurah hati untuk Panatapan. Kontras dengan mendung hitam berujung hujan sehari suntuk kemarin, cuaca sangat bagus hari ini. Langit biru, cerah, nyaris tanpa awan. Sinar matahari sempurna menyiram bumi. Udara hangat menggairahkan.  

Di tanah lapang kampung, sekelompok lelaki sedang menggenapi tradisi pergantian tahun, marbinda, urunan menjagal ternak. Tahun ini korbannya seekor babi tambun. Setiap keluarga akan mendapat jatah daging sesuai pesanannya, lalu diolah menjadi lauk pesta makan keluarga.

Setiap keluarga Panatapan wajib  pesta makan daging untuk menutup dan membuka tahun. Mereka perlu berdoa agar rejeki melimpah dalam setahun mendatang. Agar sinur pinahan gabe niula, ternak beranak-pinak dan tanaman melimpah-ruah hasilnya. Begitulah cara warga Panatapan, atau umumnya orang Batak, merayakan pergantian tahun.

Warga Panatapan umumnya tabu bertengkar, atau melakukan apapun yang berbau sengketa, dalam setiap momen pergantian tahun. Tapi tabu itu rupanya tak berlaku bagi Poltak, Binsar dan Bistok. Tiga sekawan itu justeru terbakar api sengketa di akhir tahun. 

"Satu! Pokoknya aku harus dapat satu!" teriak Binsar, ngotot, sampai-sampai anak-anak ayam yang berkeliaran di sekitar kakinya terlonjak histeris. Urat-urat lehernya meregang bak akar-akar pandan liar.

"Aku juga!" sambar Bistok melotot. Kedua biji matanya nyaris mencelat dari liangnya.

"Lalu, aku dapat apa?" Poltak memelas. Tidak ada jawaban.  

Pokok sengketa adalah hak atas kaki babi bakar. Kedengarannya soal remeh-temeh.  Tapi, serius, itu masalah  besar. Perlu diketahui, tidak semua anak Panatapan bisa mengerkah kaki babi bakar sekali setahun. Itu kesempatan langka.

Kaki babi bakar itu upah Poltak, Binsar dan Bistok membersihkan jeroan babi binda sepagian. Masalahnya, di mana-mana kaki babi ada empat. Tapi pada hari itu, di Panatapan, hanya ada dua potong.

Mudah ditebak, dua potong lainnya sudah ditilep koruptor. Entah siapa koruptornya. Pasti salah seorang dari para lelaki dewasa penjagal babi itu. Mungkin untuk pengasah giginya.  

Dalam Matematika, sangat mudah membagi dua dengan tiga. Hasilnya dua per tiga. Sayang, ini bukan pelajaran Matematika. Ini soal upah, soal hak asasi anak kecil yang sudah sepagian memoroti tahi babi dari untaian usus-ususnya.  

Poltak, Binsar, dan Bistok menuntut hak masing-masing untuk mendapatkan satu potong kaki babi gosong. Tidak ada yang mau mengalah. Perjanjian Hariara Hapuloan agaknya tak berdaya dalam urusan kaki babi bakar.

Pertengkaran tanpa ujung itu akhirnya mengundang campur tangan Ama Ringkot. "Oi, sini kalian bertiga, bodat!" perintahnya dengan mata melotot. Tiga sekawan bergeming.

"Begini saja," katanya setelah dia mengalah untuk mendekat. Wajahnya disorongkan ke depan hidung ketiga anak itu.  

"He, turunkan tangan kalian!" bentaknya saat melihat Poltak, Binsar dan Bistok kompak tersentak mundur sambil menutup hidung dengan telapak tangan. Siapa pula orang yang kuat melawan bau napas Ama Ringkot. Hanya istrinya, mungkin.

"Begini," lanjutnya, "kalian bertiga lomba lari naik-turun ke Bukit Partalinsiran sana", sambil menunjuk ke arah bukit di utara kampung. "Juara pertama dan kedua mendapat hadiah kaki babi, juara ketiga kentutnya."

"Bah, keterlaluan. Benar-benar keterlaluan. Sudah lelah memoroti tahi babi, masih harus lari ke puncak bukit," Poltak mengumpat dalam hati sambil melotot sengit. Hak asasi macam apa itu.

Terbetik di benak Poltak, Ama Ringkotlah koruptor kaki babi itu.  Sudah menjadi rahasia antar-kampung, setiap kali Ama Ringkot terlibat di pejagalan, pasti ada potongan daging yang raib. Poltak sudah pernah melihatnya sendiri. Dulu sewaktu acara adat sarimatua Ompu Maruhal.

"Huh. Dasar manusia celeng pencoleng", umpat Poltak dalam hati.  

"Itu tak adillah," bathinnya kesal. Poltak  tahu dia tak mungkin menang lomba lari melawan Binsar. Lalu Bistok, si kaki tampah, tak mungkin menang melawan dirinya. Kalau hasilnya sudah diketahui sebelum kejadian, maka apa gunanya berlomba.

"Tidak!" Poltak menolak tegas solusi tak berkeadilan dari  Ama Ringkot. 

"Sudahlah.  Binsar. Bistok. Kalian makan sendirilah kaki babi bakar itu. Aku tak perlu," lanjutnya. Bagi Poltak, kenikmatan kaki babi bakar hanya seketika, tapi kenikmatan persahabatan selamanya.

Seketika, Poltak berbalik dan beranjak meninggalkan Binsar dan Bistok tercenung. Jiwa Poltak besar, tapi hatinya pilu. Hak istimewanya atas kaki babi bakar telah dirampas oleh seorang koruptor sadis.

"Poltak! Tunggu!" Binsar dan Bistok kompak memanggil sambil berlari mengejar Poltak.  

"Ayo. Dua kaki babi bakar ini kita gerogoti bertiga." Binsar menawarkan solusi adil. Bistok mengangguk setuju. Poltak kontan sumringah lagi.  

Tiga sekawan itu kembali bercanda dan tertawa ria seperti sedia kala. Mereka pesta makan kaki babi bakar,  bergilir menggerogot dan mengerkah potongan kaki gosong. Pergantian tahun sah untuk Poltak, Binsar dan Bistok.

Tuhan memang murah hati untuk Panatapan. DituntunNya akal budi Poltak, Binsar dan Bistok untuk dapat mengatasi masalahnya sendiri. Sebab Tuhan tahu, mengundang campur-tangan orang tua kerap kali berarti membuka pintu untuk nasihat Lucifer. (Bersambung).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun