Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #018] Sesama Bodat Saling Menghargai

12 Oktober 2020   07:30 Diperbarui: 13 Oktober 2020   07:32 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disain sampul: FT; Foto: erabaru.com

Perjalanan ke Sibatuloting pada sore itu adalah penikmatan simponi alam. Gemericik air, desir angin, desau dedaunan, dan keretak ranting patah. Kericau cucak-rawa, kicau kepodang, ruku tekukur, dekut punai, derik jangkrik, kecer tonggeret, korek kodok, kokok ayam hutan, cicit tupai, siul elang dan gaung lutung.  Oleh udara sejuk, semua bunyi itu digubah menjadi sebuah mahakarya simponi alam yang indah.

Alam komponis mahajenius. Tidak ada komponis yang mampu menandinginya.  Tidak juga Mozart, Bach, dan Beethoven.  Pun tidak Chopin dan Tchaikovsky.

Tiba-tiba harmoni simponi alam itu ambyar oleh lengking jerit pilu seekor babi hutan dari arah rimba Simanukmanuk. Rombongan terhenti. Saling-pandang. Wajah-wajah kembut, dicekam ketakutan. Terutama Poltak, Binsar dan Bistok.

"Tidak apa-apa. Ompung kita sudah mendapatkan buruannya. Setelah makan dia pasti istirahat. Aman. Ayo, jalan terus." Hotman menenangkan. Ompung, sebutan santun orang Batak untuk harimau, tidak akan menyerang manusia setelah makan kenyang.  

Poltak menciduk air irigasi dengan telapak tangan, lalu meneguknya. Kerongkongannya yang tadi terasa kering karena takut kini terasa segar lagi. Langkah sepasang kaki kecilnya kembali bersemangat.

"Siapa yang menanam pohon gorat itu, Bang." Bistok bertanya, memecah bisu. Hotman, abangnya, hanya menggeleng. Tidak tahu.

"Sebelum tali air ini dibikin, pohon gorat itu sudah ada," timpal Poltak. "Itu kata ompungku."

"Bistok tanya siapa yang tanam, Poltak," sergah Marihot.

"Tak tahulah aku. Mungkin bodat." Poltak menjawab sekenanya. Tapi, sangat mungkin memang begitu. Itu ulah bodat, monyet hutan.

"Bah! Bodat!" Tiba-tiba Hotman setengah berteriak. Telunjuknya mengarah ke pohon gorat. Mereka sudah tiba di tujuan.  "Kita keduluan bodat," lanjutnya.

Rombongan berhenti.  Semua mata tertuju ke pohon gorat raksasa yang tegak menjulang pada lereng selatan tali air.  Buahnya sarat bergelantungan menerbitkan liur.  Sekawanan bodat, monyet ekor panjang sedang menikmati gorat ranum di atas pohon. Seolah tidak peduli pada kehadiran rombongan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun