Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Poltak #016] Cucu Sulung Rasa Anak Bungsu

6 Oktober 2020   20:10 Diperbarui: 6 Oktober 2020   21:13 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Disain sampul: Felix Tani; Foto: erabaru.com

"Bah!  Nak, kau dilahirkan ibumu, bukan nenekmu!" Amani Poltak membentak anaknya yang dianggap kurang ajar itu.  Amani Poltak menyeret pergi anaknya, Poltak.

"Ompung!  Tolong, Ompung!"  Poltak meraung minta tolong.  Dia tak mau dipisahkan dari kakek-neneknya.  

Tapi kakek-neneknya diam saja. Mereka tidak kuasa berbuat apa pun.  Hanya bisa berdiri muram di teras rumah, pasrah menyaksikan cucu kesayangan mereka dibawa pulang bapaknya.  

Tenaga Poltak bukan tandingan untuk bapaknya. Terpontal-pontal dia setengah berlari diseret oleh bapaknya.  Jerit tangisnya tiada mereda sepanjang jalan, sekitar satu kilometer jauhnya.  Itu jarak Panatapan ke Robean.

Begitu masuk rumah di Robean, pintu- pintu langsung dikunci. Agar Poltak takbisa kabur, kembali ke rumah kakek-neneknya di Panatapan.

Poltak duduk teronggok layaknya tahi kerbau di lantai papan di ruang tengah rumah. Pikirannya buntu, sebuntu-buntunya. Perasaannya bantat, sebantat-bantatnya.

Ketiga adiknya, Benget, Tiurma, dan Sahat berdiri mematung di pintu tengah. Diam mengamati Poltak, dengan sorot mata penuh tanya. Juga tatapan prihatin.

"Ini, minum limun, Nak," ibu Poltak menawarkan segelas limun. Mata Poltak memaku segelas limun itu. Gelembung-gelembung karbon dioksida berkejaran naik ke permukaan cairan merah manis segar itu.  

Poltak merasa asing di rumah Robean. Asing kepada bapaknya, ibunya dan tiga orang adiknya. Dia sadar itu bapaknya, ibunya, dan adik-adiknya. Tapi hatinya tidak ditaruh pada mereka. Melainkan pada kakek-neneknya di Panatapan.

Tapi Poltak tak merasa asing dengan  segelas limun merah yang begitu menggoda. Dia tergila-gila pada sensasi cubitan-cubitan karbon dioksida limun pada lidahnya. Bagi Poltak, juga anak-anak Panatapan lainnya, limun adalah minuman surgawi.

Glek, glek, glek.  Serasa di bawah sadar, Poltak tanpa kendali telah menyambar dan menenggak habis segelas limun itu. Ajaib.  Pikirannya mendadak terbuka. Perasaannya mendadak sarang. Akal sehatnya langsung bekerja. Kelak ibunya akan menyesal karena telah memberi segelas limun untuknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun