Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Nadiem Makarim dan Kaum "Cultural Laggard"

3 Agustus 2020   16:02 Diperbarui: 4 Agustus 2020   02:09 1512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendikbud Nadiem Makarim (Foto: antara.com)

"Masalah cultural lag atau "ketertinggalan budaya". Dia menjadi seorang cultural laggard (orang yang ketigggalan budaya) dalam konteks revolusi "buku tulis" itu."

Apa jadinya jika item infrastruktur 4.0 berada di tangan manusia berkultur 2.0? Nenek Poltak menggunakan pena stylus sebagai tusuk konde. Begitulah gambaran karikaturalnya.

Tapi karikatur itu tampaknya kelewat ekstrim. Pengalaman Poltak beralih dari sabak (lempeng batu karbon) dan gerip (alat tulis) ke buku tulis (kertas) dan pensil semasa Sekolah Dasar di pedalaman Tanah Batak pada paruh pertama 1960-an barangkali lebih pas.

Pada awalnya, Poltak menekan keras pensil di atas buku tulis, mengikuti kebiasaannya menekan keras gerip di atas sabak. Akibatnya, tiada hari tanpa lembaran buku bolong dan mata pensil patah.

"Masalahnya kertas dan pensilnya terlalu lunak, Pak Guru," dalih Poltak setiap kali diingatkan gurunya.

"Bukan kertas dan pensil yang terlalu lunak, Poltak. Tapi kepalamu itu yang terlalu keras." Gurunya lama-lama naik pitam. 

Sudah berulang kali Poltak diingatkan, "Menulis di atas kertas itu harus lembut." Tapi dasar Poltak, pola pikirnya belum beranjak dari "zaman batu", lembaran kertas buku tulis diperlakukan penuh "kekerasan" layaknya batu sabak.

Poltak itu mengalami masalah cultural lag atau "ketertinggalan budaya". Dia menjadi seorang cultural laggard (orang yang ketigggalan budaya) dalam konteks revolusi "buku tulis" itu.

Ibaratnya, di tangan Poltak ada tablet elektronik dengan layar sentuh super sensitif, tapi dia tetap mengguratkan pena stylus di layar tablet seolah mengguratkan gerip di papan batu sabak. Kulturnya yang mager (malas gerak), teknologinya yang dikambing-hitamkan.

Itu tampak seperti seorang pengendara mobil yang memberi kode belok kanan dengan cara melambaikan tangan kanannya ke luar jendela. Pengendara di belakangnya langsung mahfum, sebab dia juga tak percaya pada lampu sein. Apalagi jika pengendara di depannya seorang perempuan berdaster.

Seperti halnya Poltak, ibunya juga menggerutu kepada guru, yang dianggap representasi pemerintah. 

"Dulu sekolah murah. Cukup modal satu sabak dan beberapa batang gerip selama sekolah. Sekarang mahal. Saban tahun harus beli selusin buku tulis dan setengah lusin pensil untuk tiap anak. Pemerintah keterlaluan."

Ya, mau bagaimana lagi. Kemajuan teknologi memang tak sudi menunggu kemiskinan moksa. Teknologi tinggi adalah keniscayaan zaman. Pemerintah harus memanfaatkannya demi pembangunan bangsa.

Jadi tak perlulah meneladan Ibu Poltak menggerutui pemerintah lantaran tak punya cukup anggaran untuk mengakses teknologi terbaru. Introspeksi saja, sesali yang perlu disesali, ambil inisiatif baru, lalu ngebut mempersempit jarak ketertinggalan.

***
Tahun 2020 ini, atau sekitar 60 tahun sejak revolusi "buku tulis" di sekolah Poltak, giliran Poltak yang menggerutui pemerintah. Tepatnya menggerutui Mas Nadiem, Mendikbud. Sembari berikhtiar memercikkan getah ke Pak Jokowi, Presiden RI.

Objek gerutuan dan keluhannya adalah PJJ yang menyulitkan murid miskin dan atau terpencil. Karena miskin maka tak mampu beli gadged dan pulsa untuk mengakses pembelajaran daring. Karena terpencil, maka anak murid harus manjat ke pucuk cengkeh untuk mendapatkan sinyal. Kasihan cengkehnya patah pucuk.

Semua keluhan dan kritik terkait PJJ kepada Mas Nadiem terdengar masuk akal. Ya, iyalah. Kalau anak Poltak tak punya gadged dan pulsa, atau di tempatnya tak ada sinyal, ya masuk akal pula kalau anaknya tak bisa ikut PJJ.

Tapi masuk akalkah jika kemudian Poltak menyalahkan Nadiem? Memangnya salah siapa sehingga anak Poltak tak punya gadged dan pulsa. Salah Nadiem? Memangnya dia Sinterklas pembagi gadged dan pulsa? Juga, salah siapa kalau di tempat Poltak sinyalnya ada di pucuk pohon cemara. Salah Nadiem lagi? Memangnya dia Menkominfo atau Menteri BUMN atau Dirut Telkom?

Sebenarnya, kalau bukan lantaran pandemi Covid-19, revolusi PJJ tak akan dipaksakan begini. Pasti akan dirancang dan dilaksanakan secara bertahap.

Infrastruktur jaringan komunikasi dan informasi, khususnya internet, diratakan dulu sampai ke gigir nusantara. Gadged bersubsidi dibagikan dulu kepada guru-guru dan murid-murid miskin. Pulsa PJJ ditanggung APBN.

Lalu, struktur dan kultur sekolah direvolusi dari luring ke daring. Kurikulum, silabus, dan bahan ajar daring disiapkan matang. Metode pembelajaran daring disiapkan dan dilatihkan. Agar guru dan murid tidak mengidap gejala cultural lag.

Kira-kira begitu yang ada di benak Pak Jokowi. Makanya dia memilih Nadiem, manusia internet itu, sebagai Mendikbud. Tidak memilih Profesor tua yang hanya tau cara memanfaatkan gadged tercanggih untuk teleponan, chatting, googling dan nonton filem-fileman di Youtube.

Sekarang ini situasinya ibarat Poltak mendadak dikejar anjing gila, lalu tak ada pilihan lain kecuali lari manjat pohon atau tiang listrik. Poltak tak bisa menyalahkan anjing gila kalau ternyata dia tak bisa manjat. Harus cari inisiatif lain, semisal nyebur ke kali butek (Setahuku, sih dia tak bisa berenang).

Intinya, revolusi dari pembelajaran luring ke daring hari ini memang terlalu mendadak. Laiknya petir di siang bolong, bikin gelagapan manusia berlanggam woles. 

Gejala cultural lag langsung menganga. Tuntutannya pembelajaran 4.0, tapi kultur sekolah, guru dan murid masih di 2.0. Pada kultur 2.0 ini, fungsi terbaik gadged bagi murid adalah fasilitasi plagiasi makalah instan.

***
Politisi berotak 2.0 kemudian berteriak-teriak agar Mas Nadiem dirisafel saja. Alasannya, tidak mampu mengelola PJJ yang adil dan merata secara efisien dan efektif. 

 urid miskin dan terpencil makin jauh saja dari pendidikan. Guru dan orang tua tambah sengsara. Sebab pandemi sialan ini telah membonsai nafkah mereka. Jangan kata pulsa, belacan pun harus minjam ke tetangga.

Teriakan politisi 2.0 itu lalu disambut pula oleh sebagian pimpinan sekolah dan tokoh ormas pendidikan. Politisi dan praktisi tunggang-menunggang, menawarkan ragam solusi tanpa aksi. Kalau perlu mundur dari inisiatif POP-nya Nadiem.

Harapan mereka,Mas Nadiem dan Pak Jokowi tunggang-langgang. Hei, yang tunggang-langgang itu dari dulu sampai kini murid-murid miskin dan terpencil. Mikir!

Saya tidak begitu heran dengan resistensi politisi dan tokoh-tokoh pendidikan itu. Mereka umumnya memang kaum cultural laggard, pengidap gejala ketinggalan budaya. Resisten terhadap kemajuan teknologi, karena malas beradaptasi, selain hobi status quo. Orang-orang seperti itu anti-inovasi dan anti -revolusi.

Memang itulah kendala utama revolusi teknologi informasi 2.0 ke 3.0 atau dari 3.0 ke 4.0. Dalam dua tiga kali diundang hadir sebagai pendengar dalam FORTI BUMN, saya diberi tahu kendala utama transformasi teknologi dari 3.0 ke 4.0 adalah pimpinan yang resisten. Mereka selalu bilang, TI itu mahal, sulit, dan staf belum siap. Padahal yang tidak siap para pimpinan itu sendiri.

Sebenarnya yang harus dirisafel adalah para politisi dan praktisi pendidikan pengidap cultural lag itu. Jokowi sudah memberi contoh dengan mengangkat Nadiem, seorang petarung revolusi IT, menjadi Mendikbud. Jadi kita sekarang punya Mendikbud yang berpikir dan bertindak dalam koridor revolusi teknologi informasi 4.0.

Saya pikir tidak ada kritik substantif terhadap inisiatif Nadiem untuk perluasan sistem PJJ atau e-learning berkelanjutan. Kesenjangan penguasaan gadged bisa diatasi dengan kebijakan subsidi atau bantuan. 

Ketiadaan anggaran keluarga untuk beli pulsa bisa diatasi dengan fasilitas pulsa pendidikan murah atau gratis. Ketiadaan sinyal bisa diatasi melalui perluasan jangkauan jaringan komunikasi elektronik ke pelosok. Semua itu masalah teknis yang sudah ada solusinya.

Satu hal yang luput dari polemik, jika semua infrastruktur 4.0 sudah menjangkau semua lapisan sosial dan wilayah, apakah kultur guru, murid dan orangtua murid otomatis ikut berubah ke pola 4.0. Atau tetap mandeg di pola 3.0 atau bahkan 2.0?

Indikatornya mudah dibaca. Jika proses PJJ hanya memindahkan materi ajar dari bentuk non-digital ke digital, dan hanya mengubah cara mengajar luring menjadi daring, berarti budaya 2.0 masih bertahan dan transformasi ke 4.0 gagal total. Itu ibarat seseorang yang memacu unta untuk terbang ke bulan.

Bagaimanapun, kaum cultural laggard itu adalah penghambat revolusi PJJ, atau transformasi cepat dari pembelajaran luring ke daring. Kaum ini sangat berisik dan paling nyaring suaranya di ruang publik.

Tapi resistensi kaum cultural laggard itu, khususnya di kalangan pelaku pendidikan, sebenarnya mencerminkan ketakutan mereka akan tersingkir dari struktur dan kultur pembelajaran daring atau PJJ.

Karena itu, Mas Nadiem, dalam rangka perluasan PJJ tolonglah kaum ini dirangkul lebih dulu. Ajak mereka berembuk sembari menjalani program penyembuhan gejala cultural lag-nya. Buktikan kepada mereka, pembelajaran daring itu seefisien dan seefektif memesan seporsi seblak pedes lewat jasa ojek online.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun