Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi dan Gejala "Oposisi Internal" di Kabinetnya

22 Oktober 2019   09:07 Diperbarui: 22 Oktober 2019   13:28 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pihak oposisi di Istana. (KOMPAS)

Teori organisasi yang mengadopsi konsep biologi, selalu merujuk pada relasi harmonis. Maksudnya, sebagaimana tubuh yang sehat, seluruh unsur organisasi harus terhubung secara harmonis menurut fungsinya, sehingga organisasi bisa bekerja optimal mencapai tujuannya. Tujuan organisasi adalah "produktivitas".  

Jika teori itu diterapkan pada organisasi Kabinet Jokowi II (2019-2024), maka posisi-posisi Menteri/Setingkat Menteri harus diisi oleh orang-orang yang sepakat dengan tujuan kabinet tersebut dan cara mencapainya. Sebab jika tidak demikian, akan terjadi disharmoni dalam kabinet, sehingga bisa gagal mencapai tujuan, bahkan mungkin porak-poranda.

Untuk contoh ekstrim, bayangkan sebuah tim sepakbola. Ada seorang anggota tim yang mbalelo, selalu mengoper bola ke kaki lawan, atau malah menendang bola ke gawang sendiri. Bukankah itu membuat tim porak-poranda lalu kalah? Maka anggota tim seperti itu harus segera ditarik ke luar lapangan permainan.

Kasus "pemain bola mbalelo" itu adalah penggambaran "oposisi internal". Ada di dalam struktur tim tapi bertindak oposan, mengingkari atau bahkan menentang tujuan timnya sendiri. "Oposisi Internal" seperti ini bukan saja ibarat "duri dalam daging" tapi, lebih parah, ibarat "kanker ganas dalam tubuh".

Saya memaparkan pengertian-pengertian sederhana di atas sebagai bingkai analisis atas dinamika politik nasional hari ini yaitu pembentukan Kabinet Jokowi II. Titik api dalam diskusi politik kini adalah langkah Presiden Jokowi untuk menarik pesaingnya pada Pilpres 2019 lalu, Prabowo Subianto, sebagai anggota kabinet bidang pertahanan.  

Ada kecemasan bahwa Prabowo berisiko menjadi semacam "Kuda Troya" yang akan menyerang Jokowi dari dalam struktur. Ini yang saya sebut sebagai "oposisi internal".

Pertanyaannya apakah Prabowo akan menjadi kekuatan "oposisi internal" jika dimasukkan ke dalam struktur kabinet? Jika benar begitu, apakah Jokowi mampu menanganinya?

Menjawab pertanyaan pertama, baiklah jika memeriksa kembali substansi kampanye Prabowo pada Pilpres 2019 lalu. 

Pertanyaannya: adakah substansi isu kampanye Prabowo yang secara frontal bertentangan dengan isu kampanye Jokowi? Saya tidak melihat adanya pertentangan substantif. Kecuali dalam cara menyampaikan isu. 

Prabowo selalu menggunakan bahasa negatif, misalnya 99 persen rakyat hidup pas-pasan. Sebaliknya Jokowi selalu menggunakan bahasa positif, misalnya penduduk miskin tinggal 9 persen.

Tiadanya pertentangan substantif itu terbaca dengan jelas pada saat debat publik. Perhatikan bahwa dalam banyak isu dan gagasan Prabowo menunjukkan kesepakatan dengan Jokowi. Bahkan dalam soal pertahanan, isu terpanas, keduanya sepakat tentang gagasan "Indonesia Macan Asia". Hanya artikulasinya yang beda. Jokowi menekankan teknologi pertahanan digital, Prabowo teknologi mesin perang.  

Dari sisi itu, saya kira, Jokowi berpikir bahwa Prabowo akan lebih bermanfaat bagi kemajuan bangsa apabila diintegrasikan ke dalam kabinet, ketimbang berada di luar kabinet sebagai "oposisi eksternal".  

Sebab keduanya sejatinya punya visi yang selaras tentang "Indonesia Maju". Karena kesamaan visi itu, Prabowo tidak akan efektif menjadi oposisi, kecuali hanya menjadi "tukang nyinyir dari luar garis". Seperti yang dipanggungkan Fadli Zon selama ini.

Satu hal yang saya pikir sudah dipastikan Jokowi sebelum memutuskan menarik Prabowo ke dalam kabinetnya adalah memastikan Prabowo "bersih" dari pengaruh dan kepentingan "penumpang gelap", khususnya kelompok pengusung kontra-idiologi Pancasila.  

Tentang hal itu publik bisa menilai apakah Prabowo seorang Anti-Pancasila? Apakah Gerindra, partai politik yang dipimpinnya, Anti-Pancasila atau sekurangnya menduakan Pancasila? 

Dukungan kekuatan yang mungkin Anti-Pancasila pada Prabowo saat Pilpres 2019 bukanlah indikasi Prabowo dan Gerindra Anti-Pancasila. Pada posisi sebagai rival Jokowi sudah pasti Prabowo harus menarik suara dari kalangan Anti-Jokowi. Begitulah "permainan politik" harus dimainkan.

Saya pikir Jokowi dan Prabowo adalah dua orang "pemain politik" tingkat tinggi. Mereka berdua sangat sadar bahwa antara mereka ada kesamaan visi dan ada chemistry politik yang produktif.  

Jadi ketimbang Prabowo menjadi oposisi eksternal yang "nyaring tanpa perlawanan", bukankah lebih baik bagi bangsa dan negara ini jika keduanya berkolaborasi?

Tapi misalkan Jokowi salah hitung, atau Prabowo kemudian berubah haluan menjadi kekuatan "oposisi internal" dalam Kabinet Jokowi II. Apakah Jokowi punya kekuatan untuk meredamnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini baiklah jika merujuk pada kasus empirik. Jokowi pernah mengangkat seorang menteri yang ternyata kemudian menjadi "oposisi internal". 

Itulah Rizal Ramli, kemudian menjadi kubu pendukung Prabowo, yang bikin "gaduh" karena berseteru dengan menteri lain dan bahkan Wapres Jusuf Kalla.  Apa yang kemudian dikakukan Jokowi? Tegas dan simpel: copot dari tim lalu buang ke luar!  

Jokowi adalah Presiden. Dia berhak dan pasti berani mencopot siapapun menterinya yang bertindak mbalelo dengan menjadi "oposisi internal". Tidak terkecuali dengan Prabowo Subianto.

Perlu dicatat, di satu pihak integrasi Prabowo ke dalam kabinet adalah ujian berat bagi Prabowo dan Gerindra. Prabowo harus membuktikan bahwa dirinya dan partainya adalah Pancasilais dan Nasionalis sejati. Seperti yang didengungkan selama ini. Jika tidak maka partainya berisiko memanen citra negatif.

Di lain pihak, Jokowi memang sedang memainkan strategi "domestikasi oposisi".  Membawa kekuatan oposisi yang "liar" dari ruang publik ke dalam ruang "domestik" (kabinet).   Sebab lebih mudah mengelola oposisi yang berada di dalam rumah ketimbang yang berkeliaran di luar rumah. Tapi, jelas, ini memang memerlukan kapasitas seni berpolitik halus tingkat tinggi.

Pada akhirnya mungkin tinggal rakyat yang gelo. Lha, untuk apa kita dulu gontok-gontokan sampai terpolarisasi saat Pilpres 2019 jika ternyata Jokowi dan Prabowo ujungnya bersatu? Hei, ada apa dengan kita, coba renungkan, apa buruknya sebuah persatuan? 

Lagi pula setiap warga negara mestinya sadar bahwa kampanye Pilpres 2019 adalah sebentuk "permainan politik", dan warga ikut bermain di dalamnya. 

Setiap pemain, sebagai "homo ludens" mestinya sudah mendapatkan kesenangannya sendiri dari permainan itu. Apapun bentuknya. Termasuk sekadar seporsi nasi bungkus. Jika ada yang kebablasan sampai saling tikam atau suami isteri pisah ranjang atau bahkan cerai, maka mereka telah salah bermain.

Demikian pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, menulis dari tengah hamparan rumpun padi menguning.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun