Pasar tradisional adalah domain perempuan. Tesis ini valid untuk Asia Tenggara. Atau sekurangnya untuk Indonesia.
Pergilah ke pasar-pasar tradisional yang tersebar di nusantara. Mayoritas pedagang dan pembeli di sana adalah perempuan. Atau sekurang-kurangnya, untuk sebagian perempuan pedagang, berjualan bersama suaminya.
Begitulah. Jika kita masuk ke lorong-lorong pasar tradisional, maka kejadian bersenggolan dengan perempuan dibanding laki-laki mungkin sekitar delapan berbanding dua. Demikian juga perbandingan celoteh.
Jika ragu pada tesis dan simpulan di atas, untuk kasus Indonesia, silahkan baca laporan-laporan studi dari antara lain Alice G. Dewey ("Modjokuto: The Village Market in Java", Center for Massachusetts Institute of Technology, 1957), Jennifer Alexander ("Trade, Traders and Trading in Rural Java", Oxford University Press, 1987), dan Ulrich Mai dan Helmut Buchholt ("Peasant, Pedlars and Professional Traders: Subsistence Trade in Rural Markets of Minahasa, Indonesia", Institute of Southeast Asian Studies, 1987).
Saya tak hendak mengulas isi laporan-laporan studi ilmiah itu di sini. Sebab intensi saya kali ini hanya hendak melaporkan fenomena perempuan-perempuan jagal di Jakarta. Tepatnya di pasar-pasar tradisional kota Jakarta.
Perempuan-perempuan jagal yang saya maksud adalah para perempuan yang berprofesi sebagai pedagang daging ayam karkas di pasar tradisional Jakarta. Ayam karkas adalah ayam yang sudah disembelih, digunduli dan diambil "jeroan"-nya.
Tapi baru pagi ini saya tertarik membahas sedikit tentang "jagal-jagal cantik" ini. Lantaran, setelah iseng menghitung, di los daging ayam karkas di Pasar PSPT Tebet tadi pagi, 6 dari 10 orang pedagang yang aktif ternyata perempuan. Beda dengan pedagang daging sapi, semuanya laki-laki. Ini menarik didiskusikan.
Pertama, pembagian domain laki-laki mutlak di los daging sapi dan perempuan dominan di los daging ayam, untuk sebagian mungkin bisa diterangkan dengan tingkat kesulitan dan "kekotoran" penanganan daging sapi. Karena harus memotong tulang paha, kaki, iga, dan punggung menggunakan golok besar atau bahkan kapak dan gergaji. Darah segar juga muncrat atau berlelehan di meja jagal. Ini mungkin agak berat dan kurang nyaman bagi perempuan.
Beda dengan ayam karkas yang relatif mudah ditangani dan tidak terlalu "berdarah". Mengagumkan sebenarnya menyaksikan para perempuan jagal mengayunkan goloknya dengan presisi tinggi. Memenggal kepala dan kedua kaki ayam karkas. Lalu memisahkan dada dari punggung dan kedua kaki. Sebelum kemudian memotong-motong ayam menjadi 8 atau 12 bagian, sesuai permintaan konsumen. Proses "mutilasi" itu hanya makan waktu sekitar 2-3 menit.
Sesungguhnya bukan pemandangan yang elok, untuk tidak bilang sedikit mengerikan, fakta seorang perempuan lembut dengan golok di tangan dan barisan "mayat" ayam bugil di hadapannya.