Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Para Perempuan Jagal di Jakarta

23 Juni 2019   20:57 Diperbarui: 24 Juni 2019   09:46 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang perempuan jagal ayam sedang memainkan goloknya di Pasar PSPT Tebet Jakarta Selatan| Dokumentasi Pribadi

Pasar tradisional adalah domain perempuan. Tesis ini valid untuk Asia Tenggara. Atau sekurangnya untuk Indonesia.

Pergilah ke pasar-pasar tradisional yang tersebar di nusantara. Mayoritas pedagang dan pembeli di sana adalah perempuan. Atau sekurang-kurangnya, untuk sebagian perempuan pedagang, berjualan bersama suaminya.

Begitulah. Jika kita masuk ke lorong-lorong pasar tradisional, maka kejadian bersenggolan dengan perempuan dibanding laki-laki mungkin sekitar delapan berbanding dua. Demikian juga perbandingan celoteh.

Jika ragu pada tesis dan simpulan di atas, untuk kasus Indonesia, silahkan baca laporan-laporan studi dari antara lain Alice G. Dewey ("Modjokuto: The Village Market in Java", Center for Massachusetts Institute of Technology, 1957), Jennifer Alexander ("Trade, Traders and Trading in Rural Java", Oxford University Press, 1987), dan Ulrich Mai dan Helmut Buchholt ("Peasant, Pedlars and Professional Traders: Subsistence Trade in Rural Markets of Minahasa, Indonesia", Institute of Southeast Asian Studies, 1987).

Saya tak hendak mengulas isi laporan-laporan studi ilmiah itu di sini. Sebab intensi saya kali ini hanya hendak melaporkan fenomena perempuan-perempuan jagal di Jakarta. Tepatnya di pasar-pasar tradisional kota Jakarta.

Perempuan-perempuan jagal yang saya maksud adalah para perempuan yang berprofesi sebagai pedagang daging ayam karkas di pasar tradisional Jakarta. Ayam karkas adalah ayam yang sudah disembelih, digunduli dan diambil "jeroan"-nya.

Para perempuan jagal ayam sedang menanti pelanggan di Pasar PSPT Tebet Jakarta Selatan|Dokumentasi Pribadi
Para perempuan jagal ayam sedang menanti pelanggan di Pasar PSPT Tebet Jakarta Selatan|Dokumentasi Pribadi
Kehadiran para perempuan jagal ayam ini sebenarnya bukan hal baru di mata saya. Setiap mengunjungi pasar-pasar tradisional di beberapa tempat di Jakarta Selatan, saya pasti menyaksikan mereka beraksi. Bahkan pedagang ayam karkas langganan keluarga di Pasar PSPT Tebet, Bu Odah, adalah seorang perempuan.

Tapi baru pagi ini saya tertarik membahas sedikit tentang "jagal-jagal cantik" ini. Lantaran, setelah iseng menghitung, di los daging ayam karkas di Pasar PSPT Tebet tadi pagi, 6 dari 10 orang pedagang yang aktif ternyata perempuan. Beda dengan pedagang daging sapi, semuanya laki-laki. Ini menarik didiskusikan.

Pertama, pembagian domain laki-laki mutlak di los daging sapi dan perempuan dominan di los daging ayam, untuk sebagian mungkin bisa diterangkan dengan tingkat kesulitan dan "kekotoran" penanganan daging sapi. Karena harus memotong tulang paha, kaki, iga, dan punggung menggunakan golok besar atau bahkan kapak dan gergaji. Darah segar juga muncrat atau berlelehan di meja jagal. Ini mungkin agak berat dan kurang nyaman bagi perempuan.

Beda dengan ayam karkas yang relatif mudah ditangani dan tidak terlalu "berdarah". Mengagumkan sebenarnya menyaksikan para perempuan jagal mengayunkan goloknya dengan presisi tinggi. Memenggal kepala dan kedua kaki ayam karkas. Lalu memisahkan dada dari punggung dan kedua kaki. Sebelum kemudian memotong-motong ayam menjadi 8 atau 12 bagian, sesuai permintaan konsumen. Proses "mutilasi" itu hanya makan waktu sekitar 2-3 menit.

Sesungguhnya bukan pemandangan yang elok, untuk tidak bilang sedikit mengerikan, fakta seorang perempuan lembut dengan golok di tangan dan barisan "mayat" ayam bugil di hadapannya.

Saya tak hendak membayangkan jika kondisi psikologis jagal ayam semacam itu terbawa ke dalam rumah saat berselisih dengan suaminya. Tapi itulah fakta yang bisa disaksikan kini di pasar-pasar tradisional di Jakarta kini.

Lalu, hal kedua, proses dominasi perempuan di ranah dagang ayam karkas itu, adalah peralihan dari laki-laki ke perempuan. Pada awalnya adalah para suami, kemudian para istri menggantikan suami yang meninggal dunia atau merintis usaha serupa di pasar lain atau membuka usaha lain dalam rangka meningkatkan ekonomi keluarga.

Bu Odah (pseudonym) sedang beraksi dengan goloknya di Pasar PSPT Tebet Jakarta Selatan, 23 Juni 2019| Dokumentasi Pribadi
Bu Odah (pseudonym) sedang beraksi dengan goloknya di Pasar PSPT Tebet Jakarta Selatan, 23 Juni 2019| Dokumentasi Pribadi
Masuknya perempuan ke ranah jagal ayam di pasar tradisional secara teknis sebenarnya masuk akal. Aksi memotong-motong ayam dagangan di pasar lebih sebagai komersialisasi keahlian para perempuan memotong-motong ayam saat kegiatan memasak di rumah. Artinya, keahlian domestik dikomersilkan di area publik, atau pasar tradisional dalam hal ini.

Satu hal yang menarik dikaji lebih dalam, pasar tradisional agaknya kini menjadi arena proses kesetaraan gender berlangsung secara natural, tanpa intervensi program pengarus-utamaan gender dari pihak "luar". 

Pasar tradisional di Jakarta kini adalah tempat perempuan menjual daging ayam sementara laki-laki menjual bumbu-bumbunya berikut sayur-mayur. Mungkin para penggiat kesetaraan gender perlu lebih banyak belajar ke sana.

Demikian laporan singkat saya, Felix Tani, petani mardijker, pengamat amatiran masalah kesetaraan gender di lapis bawah.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun