Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Balige, Kota yang Menyarungi Orang Batak

25 Maret 2019   08:45 Diperbarui: 26 Maret 2019   12:57 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com / Wahyu Adityo Prodjo)

Waktu itu pengusaha tenun Balige mendapat jatah benang dari pemerintah. Salah seorang tokoh utama adalah T.D. Pardede yang kemudian membangun Pardedetex di Medan.

Inilah awal masa keemasan Balige sebagai "kota tenun". Poros "Balige-Majalaya" dibangun untuk mendukung transfer iptek pertenunan ke Balige.  

Puncaknya terjadi tahun 1970-an sampai paruh pertama 1980-an. Waktu itu setiap hari udara Balige dipenuhi bunyi "suk sak suk sak" dari mesin tenun.

Bunyi yang menginspirasi penyebutan pengusaha tenun Balige sebagai "parhasuksak". Pada masa itu beroperasi 70-80 unit pabrik tenun di sana, sebagian skala besar. Balige tumbuh menjadi pusat industri tenun terkemuka di Pulau Sumatera. Alat tenunnya dimodernisir dari ATBM menjadi ATM.

Tenaga kerja pertenunan, umumnya perempuan, selain warga lojal, mengalir dari daerah Humbang dan Barus di selatan. Setiap perusahaan tenun membangun asrama untuk para pekerja tenun itu.

Sarung Balige warna-warni, siap dipasarkan (Foto: tobasamosirkab.go.id)
Sarung Balige warna-warni, siap dipasarkan (Foto: tobasamosirkab.go.id)
Sarung tenun Balige, produk utama, setiap hari ratusan bahkan ribuan kodi ke empat penjuru mata angin. Ke Simalungun, Deli, Medan, Tanah Karo, sampai Aceh di utara. Ke Asahan di timur. Ke Humbang, Silindung, Sibolga sampai Angkola di Selatan. Ke Samosir dan Dairi di barat.

Itulah masa kejayaan Balige sebagai kota industri tekstil. Masa ketika pertenunan kota itu sukses menyarungi semua orang Batak di Tapanuli dan sekitarnya, mulai dari bayi sampai lansia.  

Sampai-sampai Balige waktu itu dijuluki "Majalaya Kedua", merujuk nama kota sentra industri tenun terbesar se-Indonesia di Priangan Selatan waktu itu.

Atomisasi Industri
Tapi kejayaan rupanya selalu ada akhirnya. Demikian sejarah kerap bercerita. Begitupun kejayaan Balige dengan industri tenunnya.

Tahun 1980-an adalah awal kejatuhan industri tenun Balige. Sejak masa itu sampai kini industri tenun Balige sudah dikelola generasi ketiga, "penerus", anak-anak generasi perintis/pengikut.

Sebagian malahan tutup begitu saja. Karena tak ada penerusnya. Jika ada penerus, dan umumnya anak "makan sekolahan/kuliahan", "passion"nya tak sekuat orangtua mereka. Antara lain karena apresiasi yang lebih tinggi pada kerja kantoran, khususnya pegawai negeri.

Industri tenun Balige kini memasuki masa "senja kala". Tahun 2018 jika merujuk buku statistik Balige Dalam Angka, jumlahnya tinggal 12 unit. Skalanya juga semakin menciut menjadi usaha kecil/menengah dan bahkan mikro, skala rumahtangga. Tersebar di Kelurahan Pardede Onan, Napitupulu, Haumabange, dan Balige.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun