Pagi ini dari rumah tubuhku adalah sejumput kapas yang melayang ringan meniti hembus angin ke arah sawah.
Sudah ku sunggingkan senyum di bibir, pengantar tawa lebarku nanti saat memandang hamparan hijau pupus malai padi yang baru terbit di bentang tigaratus tumbak sawahku.
Sudah delapan puluh hari usia padiku pagi ini.
Istriku tadi mengantarku ke pintu rumah kayu sahaja kami dengan senyum termanis di bibirnya. Tadi malam di peluknya telah ku janjikan sepasang giwang emas baginya. Giwang tuanya telah ku jual di paceklik dua tahun lalu.
Gabah dari tigaratus tumbak sawah adalah harapan atas janji sepasang giwang untuk dua lubang tindik yang sudah menutup di sepasang telinga istriku.
Empat puluh  hari lagi dari pagi ini akan tiba masa panen sawahku.
Tapi pagi ini juga  tubuhku telah menjadi seonggok batu dingin yang menancap kaku di pematang sawah.
Retina sepasang mataku tidak memantulkan bayang hamparan hijau pupus malai padi muda. Terpantul di pelupuk hanya bayang hamparan malai putih padi hampa.
Hama sundep yang menggempur sawahku dua puluh hari lalu ternyata tak musnah oleh semprotan pestisida utangan dari toke sarana tani yang teramat pandai membual. Â
Jahanam sundep itu telah menghisap habis cairan padiku. Untukku kini hanya  tersisa cangkang putih hampa di malainya. Tiga ratus tumbak sawahku telah puso.
Sawahku gagal panen musim ini, hasilnya hanya cukup untuk makan berdua istriku dalam separuh purnama.