Waktu pun silih berganti. Lama kelamaan Haris mulai merubah sikapnya. Ia bangun pukul 4.00 pagi, berjamaah di mushala dan terus dibimbing oleh ustadz tersebut. Walaupun demikian, lagi-lagi masyarakat masih berkomentar buruk terhadap dirinya.
      "Tuh, lihat, si sampah sok soan shalat subuh."
      Setiap hari, Haris mulai terbiasa menahan segala cemoohan terhadap dirinya. Mulai sopan ke ayah ibunya, dan tanpa disadari, kini Haris telah hafal 5 juz al-qur'an.
      Dengan izin Allah, ustadz Azam berhasil membuka fikiran dan hati Haris untuk berubah. Kini, Haris bermimpi mengajak generasi muda kampung untuk hijrah seperti dirinya. Dia teringat Nul, teman yang sering menasehatinya.
------***------
      Segala tantangan Haris hadapi, agar generasi muda dapat mencintai al-qur'an dan mampu menghafalnya. Bersama ustadz Azam, Haris mengajak geng seperjuangan jahiliyahnya dahulu untuk hijrah. Saat itu juga, pisau hampir menyentuh tubuh kedua pemuda ini dan benci lah geng tersebut terhadap perubahan dirinya. Walau demikian, Haris tetap melanjutkan dakwah hingga pelosok desa. Lagi-lagi, ia hampir dibunuh oleh orang yang gila akan dunia.
      Lama kelamaan buah dari usaha Haris tak sia-sia. Sedikit demi sedikit para pemuda kampung pindah base camp dari jalanan ke mushala. Saung depan mushala pun dijadikan ustadz Azam dan Haris sebagai pusat kegiatan hijrah dan menghafal al-qur'an. Setiap bulan, tim mereka rutin ke pelosok-pelosok negeri Meranti untuk menyebarkan syi'ar al-qur'an. Hingga mulailah banyak berdiri Rumah Qur'an.
------***------
      Tak lama kemudian, akhirnya Nul pulang dari perantauan dan menemui Haris di perbukitan kampung. Mereka duduk sambil menatap ke arah langit.
      "Hai, boy, kau masih ingat kata good looking itu?" tanya Nul
      "Iya, aku ingat."
"Aku kira, aku bisa menjadi good looking yang sebenarnya dengan hafalanku dari pondok pesantren. Ternyata, sampah masyarakat ini lebih good looking dibanding aku," ucapnya sambil tersenyum.