Mohon tunggu...
vSukamtiningtyas
vSukamtiningtyas Mohon Tunggu... Pemikir strategis, marketer profesional dan konsultan kreatif untuk UMKM

Penyusun strategi konten, social media dan brand yang percaya bahwa strategi BUKAN rencana atau Planning. Menulis tentang influencer marketing, social media, dan krisis komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aktivisme Media Sosial: Dibalik Tuduhan Penokohan Infuencer pada Gerakan 17+8

21 September 2025   12:26 Diperbarui: 21 September 2025   12:26 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto tangan memegang megaphone. Sumber Pexel oleh Sora Shimazaki

Siapa yang Berhak Jadi "Suara Rakyat"?

Pelajaran dari Kontroversi 17+8: Ketika Aktivisme Digital Bertemu Kenyataan Politik

Pada 4 September 2025, perwakilan Kolektif 17+8 Indonesia Berbenah menyerahkan dokumen "17+8 Tuntutan Rakyat" ke DPR. Dokumen yang dibagikan jutaan kali di media sosial itu adalah hasil rangkuman berbagai tuntutan rakyat yang dipicu dari kemarahan terhadap tunjangan DPR Rp50 juta per bulan, sepuluh kali upah minimum Jakarta namun tragisnya 10 orang meninggal dalam demonstrasi di beberapa daerah.

Dihadapkan tekanan rakyat, sebagian tuntutan pun dikabulkan. Pemerintah menghentikan kenaikan tunjangan DPR. Kemenangan nyata. Tapi cerita tidak berakhir di situ karna di platform X/Twitter muncul perdebatan sengit: "Siapa yang memberi mereka hak berbicara atas nama rakyat?"

Bermula dari usaha beberapa orang untuk merangkum tuntutan menjadi 17+8, menyampaikannya kepada beberapa anggota DPR dan ketika salah satunya didapuk menjadi cover majalah Tempo, justru memunculkan perdebatan sengit. Di platform X/Twitter, kritik pedas bermunculan: "Siapa yang memberi mereka hak berbicara atas nama rakyat?" "Kenapa tidak berunding dengan buruh dan mahasiswa dulu?" "Mereka cuma influencer cari panggung!". Andhyta F. Utami, salah satu inisiator yang paling vokal, menerima serangan terberat.

Ketika Popularitas Bertemu Politik

Di era digital, siapa yang berhak mewakili "suara rakyat" menjadi pertanyaan rumit. Jerome Polin punya 6 juta subscriber, Ferry Irwandi berpengalaman puluhan tahun di aktivisme, Andhyta F. Utami memiliki latar akademis dan organisasi. Tapi apakah itu cukup?

Kritik pedas bermunculan di x/Twitter: mereka dianggap kurang berunding dengan buruh dan mahasiswa, terlalu terburu-buru, bahkan dituduh cari panggung.

Dilema Kecepatan vs Konsensus

Dokumen 17+8 disusun dalam hitungan jam untuk merespons situasi darurat. Pilihan saat itu: bertindak cepat dengan informasi terbatas, atau menunggu konsensus sempurna sementara momentum hilang.

Dari kasus ini muncul tiga model berbeda:

  • Model Darurat: Bertindak cepat saat krisis. Keuntungan: momentum terjaga, hasil konkret. Risiko: legitimasi dipertanyakan.
  • Model Konsensus: Berunding panjang dulu. Keuntungan: legitimasi kuat. Risiko: momentum hilang.
  • Model Hibrid: Tindakan darurat diikuti konsolidasi inklusif. Ini yang paling realistis, tapi 17+8 gagal bertransisi ke sini.

Masalah Legitimasi yang Kompleks

Di era digital, legitimasi punya beberapa sumber:

  • Legitimasi Tradisional: Dipilih formal (serikat, organisasi)
  • Legitimasi Digital: Jangkauan luas dan mobilisasi online
  • Legitimasi Prestasi: Hasil konkret
  • Legitimasi Moral: Konsisten dengan nilai gerakan

17+8 kuat di digital dan prestasi, tapi bermasalah di dua lainnya.

Soal Kedalaman: Jerome Polin misalnya, populeritasnya adalah sebagai YouTuber edukasi dan ahli matematika, bukan analis politik. Ketika Jerome atau Influencer lain bicara pembubaran DPR atau reformasi sistem presidensial, apakah pemahaman mereka cukup mendalam? Berbeda dengan aktivis yang puluhan tahun mendalami isu spesifik.

Soal Motivasi: Influencer hidup dari engagement seperti likes, shares, views. Platform menghadiahi konten viral, bukan akurat. Ini menimbulkan pertanyaan tidak nyaman: murni untuk perubahan sosial, atau ada unsur personal branding?

"Crab Mentality" dan Kecemburuan Terselubung

Salah satu kritik menyebut: "Crab mentality orang Indonesia nyata adanya. Di dunia aktivisme juga ada ego sektoral."

Observasi ini menohok. Seberapa banyak kritik terhadap 17+8 yang benar-benar tentang proses, dan seberapa banyak yang tentang "kenapa mereka, bukan kita?"

Ketika ada yang naik ke spotlight, yang lain menariknya turun. Bukan karena yang naik salah, tapi karena yang menarik merasa tidak adil.

Negara "Vibe-Based"

Seorang pengamat menyebut Indonesia "negara vibe-based": pemimpin vibe, oposisi juga vibe. Politik lebih didorong perasaan ketimbang substansi.

17+8 berhasil menghentikan tunjangan DPR - itu substansi. Tapi perdebatan lebih fokus pada siapa yang berhak mengklaim dan bagaimana caranya.

Pelajaran untuk Masa Depan

Kontroversi 17+8 mengajarkan beberapa hal:

Untuk Inisiator: Jika terpaksa bertindak cepat, akui keterbatasan dan buka ruang perbaikan. Jangan defensif terhadap kritik konstruktif.

Untuk Kritikus: Sampaikan kritik dengan menawarkan alternatif lebih baik. Jika merasa tidak terwakili, bangun platform sendiri.

Untuk Gerakan: Energi kolektif harus diarahkan untuk masalah substantif, bukan memperdebatkan siapa yang paling berhak memimpin.

Yang terpenting: rakyat tidak peduli siapa yang berhasil menurunkan harga sembako atau meningkatkan layanan publik. Yang mereka pedulikan adalah hasilnya.

Artikel ini ditulis dari pengumpulan sentimen dari sosial media X/Twitter menggunakan metode social listening kemudian menganalisa dinamika gerakan protes Agustus 2025 dan berbagai respons publik terhadapnya. Tujuannya adalah memahami kompleksitas aktivisme digital dan mencari pelajaran untuk gerakan sosial yang lebih efektif di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun