Mohon tunggu...
vSukamtiningtyas
vSukamtiningtyas Mohon Tunggu... Pemikir strategis, marketer profesional dan konsultan kreatif untuk UMKM

Penyusun strategi konten, social media dan brand yang percaya bahwa strategi BUKAN rencana atau Planning. Menulis tentang influencer marketing, social media, dan krisis komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aktivisme Media Sosial: Dibalik Tuduhan Penokohan Infuencer pada Gerakan 17+8

21 September 2025   12:26 Diperbarui: 21 September 2025   12:26 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto tangan memegang megaphone. Sumber Pexel oleh Sora Shimazaki

Masalah Legitimasi yang Kompleks

Di era digital, legitimasi punya beberapa sumber:

  • Legitimasi Tradisional: Dipilih formal (serikat, organisasi)
  • Legitimasi Digital: Jangkauan luas dan mobilisasi online
  • Legitimasi Prestasi: Hasil konkret
  • Legitimasi Moral: Konsisten dengan nilai gerakan

17+8 kuat di digital dan prestasi, tapi bermasalah di dua lainnya.

Soal Kedalaman: Jerome Polin misalnya, populeritasnya adalah sebagai YouTuber edukasi dan ahli matematika, bukan analis politik. Ketika Jerome atau Influencer lain bicara pembubaran DPR atau reformasi sistem presidensial, apakah pemahaman mereka cukup mendalam? Berbeda dengan aktivis yang puluhan tahun mendalami isu spesifik.

Soal Motivasi: Influencer hidup dari engagement seperti likes, shares, views. Platform menghadiahi konten viral, bukan akurat. Ini menimbulkan pertanyaan tidak nyaman: murni untuk perubahan sosial, atau ada unsur personal branding?

"Crab Mentality" dan Kecemburuan Terselubung

Salah satu kritik menyebut: "Crab mentality orang Indonesia nyata adanya. Di dunia aktivisme juga ada ego sektoral."

Observasi ini menohok. Seberapa banyak kritik terhadap 17+8 yang benar-benar tentang proses, dan seberapa banyak yang tentang "kenapa mereka, bukan kita?"

Ketika ada yang naik ke spotlight, yang lain menariknya turun. Bukan karena yang naik salah, tapi karena yang menarik merasa tidak adil.

Negara "Vibe-Based"

Seorang pengamat menyebut Indonesia "negara vibe-based": pemimpin vibe, oposisi juga vibe. Politik lebih didorong perasaan ketimbang substansi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun