Masalah Legitimasi yang Kompleks
Di era digital, legitimasi punya beberapa sumber:
- Legitimasi Tradisional: Dipilih formal (serikat, organisasi)
- Legitimasi Digital: Jangkauan luas dan mobilisasi online
- Legitimasi Prestasi: Hasil konkret
- Legitimasi Moral: Konsisten dengan nilai gerakan
17+8 kuat di digital dan prestasi, tapi bermasalah di dua lainnya.
Soal Kedalaman: Jerome Polin misalnya, populeritasnya adalah sebagai YouTuber edukasi dan ahli matematika, bukan analis politik. Ketika Jerome atau Influencer lain bicara pembubaran DPR atau reformasi sistem presidensial, apakah pemahaman mereka cukup mendalam? Berbeda dengan aktivis yang puluhan tahun mendalami isu spesifik.
Soal Motivasi: Influencer hidup dari engagement seperti likes, shares, views. Platform menghadiahi konten viral, bukan akurat. Ini menimbulkan pertanyaan tidak nyaman: murni untuk perubahan sosial, atau ada unsur personal branding?
"Crab Mentality" dan Kecemburuan Terselubung
Salah satu kritik menyebut: "Crab mentality orang Indonesia nyata adanya. Di dunia aktivisme juga ada ego sektoral."
Observasi ini menohok. Seberapa banyak kritik terhadap 17+8 yang benar-benar tentang proses, dan seberapa banyak yang tentang "kenapa mereka, bukan kita?"
Ketika ada yang naik ke spotlight, yang lain menariknya turun. Bukan karena yang naik salah, tapi karena yang menarik merasa tidak adil.
Negara "Vibe-Based"
Seorang pengamat menyebut Indonesia "negara vibe-based": pemimpin vibe, oposisi juga vibe. Politik lebih didorong perasaan ketimbang substansi.