Rakyat Talasindra bersorak.
Roro Kecik, yang selama ini hanya tahu dirinya gadis desa, kini duduk di sisi ibunya di istana kerajaan. Tapi dalam hatinya, dia tetap Roro Kecik --- gadis yang bermain dakon di tepi sungai, anak dari Ki Wira dan Simbok, dan juga darah dari seorang pangeran.
Sang Raja menatapnya lalu berkata:
> "Mungkin darahmu biru. Tapi jiwamu... telah diuji lebih berat dari bangsawan mana pun. Kau bukan hanya putri kerajaan... Kau adalah harapan baru Talasindra."
EPILOG: HUJAN DI ATAS TALASINDRA
Setelah sekian lama langit enggan menangis,
hari itu --- saat papan dakon emas kembali muncul,
saat ibu dan anak bersatu kembali,
dan saat keadilan menyala di istana ---
hujan pun turun...
Mula-mula rintik kecil menyentuh tanah yang retak.
Lalu deras, lalu deras sekali...
hingga jalan-jalan Talasindra yang berdebu berubah menjadi aliran kehidupan.
Petani menengadah. Anak-anak menari.
Air hujan menjadi penanda bahwa luka kerajaan telah sembuh.
Dsa Ngrandu yang Subur Kembali
Di lembah desa yang dulu tertinggal,
tanah mulai menumbuhkan tunas hijau.
Sawah menguning kembali,
dan bau basah tanah mengisi dada Ki Wira dan Simbok yang kini duduk di pendopo istana,
sebagai orang tua kehormatan kerajaan.
Mereka tidak kehilangan anak... mereka membesarkan seorang putri.
Putri Lintang Ayyu dan Permainan Dakon
Roro Kecik --- kini dikenal sebagai Putri Lintang Ayyu ---
setiap sore terlihat duduk di serambi istana bersama ibunya,
Putri Kenanga,
memainkan papan dakon yang sama yang dahulu nyaris terlupakan dalam tanah.
Tawa mereka saling menyambut,
kadang satu menang, kadang satu kalah.
Tapi permainan itu tak pernah selesai---
karena itulah permainan yang menyatukan mereka kembali.