Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022. Tragedi ini tidak hanya mengejutkan masyarakat Indonesia tetapi juga
dunia internasional. Pada kompetisi Liga 1 tersebut, kerusuhan yang terjadi setelah pertandingan antara Arema Malang dan Persebaya FC mengakibatkan tewasnya sedikitnya 134 orang(Wibawana, 2022). Dalam perspektif positivisme hukum, kasus ini dapat dianalisis dari sudut kepastian hukum, peran lembaga penegak hukum, dan pemisahan hukum dari aspek moralitas atau keadilan substantif.
Eksistensi hukum dalam masyarakat memiliki fungsi yang tidak hanya terbatas pada penyelesaian konflik, tetapi juga mencakup pencegahan konflik dan penegakan norma serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Namun, meskipun hukum berfungsi untuk menyelesaikan konflik, dalam beberapa kasus, hukum itu sendiri dapat menjadi sumber konflik. Hal ini terjadi ketika penegakan hukum tidak konsisten dan adil, yang mengakibatkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap sistem hukum. Selain itu, proses pembentukan hukum yang mengabaikan atau bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat dapat menimbulkan resistensi dan konflik. Efektivitas hukum dalam masyarakat sangat tergantung pada bagaimana hukum diterapkan dan diimplementasikan(Haryanti, 2014).
Dalam Perspektif Hukum Positivisme, tragedi kanjuruhan diliat dari tiga aspek:
1. Kepastian Hukum dan Norma yang Berlaku
Positivisme hukum menekankan bahwa hukum adalah aturan yang dibuat oleh otoritas yang sah dan harus ditegakkan tanpa mempertimbangkan aspek moralitas. Dalam konteks ini, penegakan hukum terhadap tragedi Kanjuruhan dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, seperti:
- KUHP Pasal 359 dan 360 tentang kelalaian yang menyebabkan kematian atau luka berat.
- UU No. 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, yang mengatur penyelenggaraan acara olahraga.
- UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang menjadi dasar bagi polisi dalam menjalankan tugas pengamanan.
Dalam kasus ini, beberapa pihak, seperti panitia pelaksana, aparat kepolisian, dan pengelola stadion, diperiksa secara hukum untuk menentukan pertanggungjawaban atas peristiwa tersebut.
2. Peran Lembaga Peradilan sebagai Penegak Hukum
- Positivisme hukum berpegang pada pemikiran bahwa hukum harus ditegakkan oleh institusi yang sah tanpa mempertimbangkan opini publik atau nilai moral tertentu.
- Dalam tragedi Kanjuruhan, aparat hukum bekerja sesuai dengan prosedur yang berlaku, seperti penyelidikan oleh kepolisian, penyidikan oleh kejaksaan, dan persidangan di pengadilan.
- Hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan norma hukum tertulis yang berlaku, bukan berdasarkan tekanan masyarakat atau tuntutan keadilan yang bersifat subjektif.
3. Pemisahan antara Hukum dan Moralitas
- Mazhab positivisme hukum, seperti yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan John Austin, menegaskan bahwa hukum harus diterapkan sebagaimana tertulis, tanpa mempertimbangkan moralitas atau keadilan substantif.
- Dalam konteks tragedi Kanjuruhan, banyak masyarakat merasa bahwa vonis terhadap beberapa terdakwa tidak mencerminkan keadilan karena dinilai terlalu ringan. Namun, dalam perspektif positivisme, hakim hanya berpegang pada aturan hukum yang ada dan bukti-bukti yang tersedia.
- Kekecewaan masyarakat terhadap hasil peradilan mencerminkan keterbatasan pendekatan positivisme hukum dalam memberikan keadilan substantif bagi korban.
Mengapa Mazhab Hukum Positivisme Masih Eksis dalam Masyarakat?
Mazhab positivisme hukum masih bertahan dalam masyarakat karena beberapa alasan utama:
Memberikan Kepastian Hukum
- Positivisme hukum memastikan bahwa hukum ditegakkan berdasarkan aturan yang jelas dan tertulis, bukan berdasarkan interpretasi subjektif.
- Dalam kasus Kanjuruhan, hukum positif memberikan pedoman tentang siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana mereka harus dihukum.
Menjaga Stabilitas Sistem Hukum
- Tanpa kepastian hukum, sistem peradilan bisa menjadi tidak stabil dan dipengaruhi oleh opini publik yang berubah-ubah.
- Positivisme hukum membantu memastikan bahwa hukum ditegakkan secara konsisten dan tidak dipengaruhi oleh tekanan sosial atau emosional.
Mudah Diimplementasikan dalam Sistem Hukum Modern
- Mayoritas negara di dunia menggunakan sistem hukum positif karena lebih mudah diterapkan dalam bentuk perundang-undangan.
- Di Indonesia, hukum positif menjadi dasar dalam perumusan kebijakan dan sistem peradilan.
Argumentasi tentang Mazhab Hukum Positivisme dalam Hukum Indonesia
Dalam konteks hukum Indonesia, mazhab positivisme memiliki kelebihan dan kekurangan:
1. Kelebihan Positivisme dalam Hukum Indonesia
- Kepastian dan Prediktabilitas: Positivisme hukum memberikan kepastian hukum yang memungkinkan individu mengetahui konsekuensi dari tindakan mereka.
- Struktur yang Jelas: Dengan adanya aturan tertulis, sistem hukum menjadi lebih terstruktur dan mudah diikuti.
- Pemenuhan Asas Legalitas: Penegakan hukum berdasarkan aturan tertulis memastikan bahwa tindakan pemerintah dan aparat penegak hukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. Kekurangan Positivisme dalam Hukum Indonesia
- Keterbatasan dalam Menangani Kasus Khusus: Pendekatan yang kaku dapat menghambat adaptasi terhadap situasi yang unik atau kompleks.
- Mengabaikan Aspek Moral dan Keadilan Substantif: Fokus pada aturan tertulis dapat mengabaikan nilai-nilai moral dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
- Potensi Formalisme Berlebihan: Penekanan pada prosedur dan aturan formal dapat mengesampingkan tujuan utama hukum, yaitu mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
ARTIKEL INI DIBUAT OLEH:
Nama: Muhammad Razif Hamdani
NIM: 232111150
Mata Kuliah/Kelas: Hukum dan Masyarakat/4E
Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah, Universitas Islam Negri Raden Mas Said Surakarta
#hesfasyauinsolo
#hukumdanmasyarakat25
#fasyauinsaid
#uinradenmassaidsurakarta
#muhammadjulijanto
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI