Setelah sesi pemahaman kurikulum, suasana bergeser menjadi lebih dinamis. Yenny dan Nurma memandu workshop pemanfaatan AI. Para guru diajak langsung menjelajahi Diffit.me, ChatGPT, dan Wizer.me. Dengan antusias, mereka mencoba mengonversi topik seperti perubahan iklim menjadi bacaan siswa, membuat soal interaktif, serta menyusun media digital yang menyenangkan.
Di dalam sebuah ruangan yang terang, tampak sebuah meja persegi panjang berdiri di tengah, dengan enam buah mug yang masih berada dalam kemasan kardus diletakkan rapi di atasnya. Sekeliling meja itu, dua belas orang guru berdiri membentuk setengah lingkaran, menyimak sesuatu dengan penuh perhatian.
Di antara mereka, terlihat dua pria: Yusuf dan Winarno. Keduanya mengenakan batik bercorak kuning dan hitam, yang mencolok namun tetap serasi dengan suasana formal. Winarno tampak berambut pendek, hanya 0.5 cm panjangnya, memberikan kesan rapi dan bersih.
Para guru lainnya juga tampak mengenakan pakaian formal, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa hormat dan kekompakan. Suasana yang terpotret mencerminkan momen kebersamaan dan penghargaan antar rekan sejawat di lingkungan pendidikan.
"Baik, sebelum kita pulang ke rumah masing-masing, setelah menyelesaikan sesi penggunaan AI, saya ingin mengajak Bapak-Ibu untuk refreshing sejenak!" seru Yenny, memecah keseriusan suasana.
"Silakan berdiri semuanya! Kita akan coba permainan singkat---ikuti gerakan dan iramanya."
Yenny mulai menghentakkan telapak tangan ke arah depan.
"Clap! Clap! Snatch! Boom!"
Tepuk tangan dua kali, jentikkan jari, dan hentakkan kaki!
Beberapa guru tertawa, sebagian lainnya mencoba menirukan gerakan dengan sedikit kaku.
"Ayo! Lebih semangat!" sahut Nurma, sambil ikut memimpin gerakan.