Langit pagi di MTsN 1 Bandar Lampung berwarna biru susu. Angin lembut menerobos dedaunan pohon mangga di halaman tengah, membawa serta aroma tanah basah usai hujan semalam. Dari lantai dua gedung barat, kelas 8M sudah mulai riuh, bukan oleh suara gaduh, melainkan oleh semangat yang menggema seperti gema takbir di masjid---lantang tapi khidmat.
Bu Dian, wali kelas 8M, masuk membawa setumpuk buku dari perpustakaan. Di belakangnya, Pak Hartawan, Kepala Madrasah, berjalan perlahan, tangannya sesekali menunjuk ke arah papan yang bertuliskan "Pekan Literasi Kelas 8M: Membaca dengan Rasa, Belajar dengan Jiwa."
"Luar biasa, kelas ini," ujar Pak Hartawan lirih kepada Bu Laksmi, petugas perpustakaan yang sedang menata daftar peminjaman siswa.
Eko dan Rudi, dua siswa yang bertugas hari itu sebagai penjaga sudut literasi, menyiapkan kursi untuk sesi refleksi baca. Wangi kertas lama, semerbak minyak kayu putih, dan harum teh yang disediakan Arija, menciptakan suasana hangat yang khas dan menenangkan.
"Silakan, Vitha," ucap Bu Dian.
Vitha Bunga Ramadhani melangkah maju. Dengan suara yang bening, ia mulai membaca komentarnya setelah menuntaskan buku Tarian Salju Karaban. "Bagus dan keren, dan dapat dipahami dengan baik," katanya pelan.
"Dan... apa yang kamu pelajari dari tokohnya?" tanya Pak Hartawan.
"Bahwa anak yang rajin dan menghormati orang tua akan dimudahkan jalannya. Saya jadi lebih perhatian ke ibu saya di rumah," jawabnya sambil tersenyum malu.
Tepuk tangan hangat mengalir. Di belakang, Fazila Frizka tersenyum sambil menunggu gilirannya. Ia kemudian bicara tentang buku Komet karya Tere Liye. "Bahasanya bisa dimengerti. Tapi yang paling saya suka adalah rasa penasaran Raib yang mendorongnya untuk terus belajar."
"Penasaran," gumam Parindra yang duduk di pojok, "itu kayak deep learning, ya, Pak?"
Pak Hartawan tertawa pelan. "Tepat, Parindra. Deep learning bukan cuma istilah teknologi. Dalam belajar, itu adalah proses saat kita tidak sekadar hafal, tapi benar-benar paham. Kita belajar sampai masuk ke hati."