Di sebuah aula megah MTsN 1 Bandar Lampung, hari itu penuh khidmat. Ucapan takbir dan tahmid menggema, memantul pada dinding-dinding yang dihiasi kaligrafi emas. Matahari pagi menari di kaca jendela, menebar cahaya hangat ke wajah-wajah yang bersinar---wajah para Hafidz dan Hafidzah muda yang telah menaklukkan ayat demi ayat dengan cinta dan air mata.
Di antara mereka berdiri Savaira Gelsi Kanya Putri, mengenakan jubah putih dan kerudung lembut warna krem. Hatinya berdebar. Dua minggu lalu, ia masih dihantui keraguan. Masih ada lima surat yang belum ia tuntaskan sehari sebelum pendaftaran terakhir. "Ustadzah Ahfa, boleh saya minta waktu tambahan untuk setoran?" pintanya lirih saat itu.
Ia tak menyangka, kegigihannya dalam murojaah---mengulang hafalan meski mengantuk, menahan lelah sepulang sekolah---membuahkan hasil. Namun cobaan belum selesai. Lima hari sebelum wisuda, namanya tak muncul di daftar peserta. "Ya Allah...," lirihnya, hampir putus asa. Tapi setelah ia menghubungi panitia dan menjelaskan, akhirnya semuanya beres. Hari ini, bukan hanya ia dinyatakan lulus, ia juga dipercaya menjadi pengisi acara.
Wildan Daniyal menatap Al-Qur'an kecil di tangannya. Ia mengingat malam-malam panjangnya di masjid, murojaah bersama BINTANG Al-Ghifari dan Harjuno Setyo Wicaksono, saling menyemangati. Mereka bahkan rela mengejar ustadz hingga ke asrama demi setoran terakhir. "Capek? Banget. Tapi puasnya itu loh, MasyaAllah!" serunya usai naik panggung menerima sertifikat.
Naura Qurratu'ain menghela napas lega. Ia masih ingat saat targetnya hanya satu juz, tetapi akhirnya dua juz berhasil ia hafal dan setorkan. Masuk dalam nominasi 26 terbaik adalah kejutan yang membuatnya ingin terus melangkah. "Aku harap bisa ikut lagi tahun depan. Juz 30 mungkin?" gumamnya, senyum terbit di wajah mungilnya.
Sementara itu, Ratu Balqis Almasduki---dengan suara tenang dan fasih---memandu acara sebagai MC berbahasa Arab. Tak banyak yang tahu, empat hari sebelum acara ia masih menanggung satu surat hafalan. Jadwal padat, guru yang tak sempat hadir, hingga tubuh yang lelah hampir membuatnya menyerah. Tapi doa orang tua dan tekadnya menjadi kunci. "Semoga guru-guru kita sehat selalu, karena tanpa bimbingan mereka, kami bukan siapa-siapa," ucapnya di akhir acara.
Di deretan kursi, Alyssa Zevania Ferdianto, Rahma Afra Zahira, dan Zhafirah Sefitri saling menggenggam tangan. Ketiganya pernah murojaah bersama di aula hingga malam sebelum hari H. Tawa dan tangis mengiringi perjuangan mereka, dari gugup menghadap ustadz, hingga lega setelah hafalan diterima. "Wisuda kali ini melelahkan, tapi juga menyenangkan," bisik Zhafirah sambil tersenyum.
Yasmine Nurrahma, Salma Bakhitah, dan Lubna Rayya Azizah Rado duduk berdampingan, mengenang saat-saat mereka belajar saling menyimak hafalan. "Kalau salah, kita langsung ulang. Kadang ketawa, kadang kesel," kata Salma, yang diamini teman-temannya. "Tapi itu kenangan manis."
Di sudut ruangan, Afiqa Cecilya Wahyudi hampir tak bisa berkata apa-apa. Ia menatap sertifikatnya lekat-lekat. "Alhamdulillah..." hanya itu yang terucap, dengan mata berkaca. Semua jerih payahnya, kesabarannya, dan malam-malam penuh murojaah kini terbayar lunas.
Tepuk tangan menggema saat nama-nama peserta Haflah Hifzil Qur'an tahun 2025 diumumkan satu per satu. Daris Budiana, guru sekaligus panitia, berdiri bangga. Ia menatap para siswa yang kini resmi menyandang gelar hafidz dan hafidzah. "Ini bukan akhir, ini awal," bisiknya pada diri sendiri.
Dan saat lagu "Assalamu 'Alaikum" menggema menutup acara, semua tahu, perjalanan ini tak akan pernah mereka lupakan. Di balik ayat yang mereka hafal, ada kelelahan yang tak terlihat, perjuangan yang tak terucap, dan cinta yang tak bertepi kepada kalamullah.