Ponsel Yani bergetar tanpa henti. Notifikasi dari Husen masuk bertubi-tubi, seolah-olah menggantikan detak jantungnya yang kini tak beraturan. Jari-jarinya bergerak lambat, malas membalas. Hatinya masih geram, masih getir sejak kejadian di arisan minggu lalu---ketika Rini membocorkan cerita pribadinya ke hadapan semua orang, dan Husen hanya diam, duduk di samping tanpa keberpihakan. Ia kira, Husen akan selalu menjadi tempat pulang. Nyatanya, ia pun membiarkan Yani jadi bahan olok-olok.
Malam turun di kamar kost yang sempit itu. Cahaya neon dari pojok ruangan menyinari dinding kusam yang penuh tempelan sticky notes---pengingat tagihan, arisan, dan jadwal pijat murah langganannya. Di atas meja kecil, sisa bungkus mie instan dan botol kecap kosong menandai hematnya perjuangan bulan ini.
Yani mendesah. Bau amis dari mie rebus semalam masih menggantung di udara.
Ia membuka kembali chat dari Husen.
"Masih marah "
Membacanya, Yani tersenyum tipis. Tak semua kemarahan bisa dipadamkan dengan emotikon, tapi setidaknya itu pengakuan bahwa ia peduli. Kadang perhatian Husen muncul dalam bentuk-bentuk yang tak terduga---pertanyaan soal arisan, ajakan nongkrong, bahkan permintaan selfie untuk memastikan Yani baik-baik saja.
Namun, ada kalanya semua perhatian itu terasa seperti jebakan.
"3x pertemuan selesai."
Yani menggenggam ponselnya erat-erat. Kata-kata itu menggigit, seperti tagihan yang menagih bayaran untuk kehangatan dan kesetiaan. Ia bukan jasa, bukan barang dagangan. Perhatian bukan kontrak. Dan tubuh bukan komoditas.
Ia berdiri dari tempat tidur, melangkah ke jendela kamar kost. Jalanan sempit di luar tampak lengang, diterangi lampu jalan yang remang. Angin malam menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah dari halaman belakang yang jarang dijamah. Dingin menusuk, tapi pergulatan batin jauh lebih dingin.