Mohon tunggu...
Mory Yana Gultom
Mory Yana Gultom Mohon Tunggu... Administrasi - Not an expert

servant

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wisuda

10 Agustus 2016   10:08 Diperbarui: 27 Juli 2017   14:53 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Uang sudah tak ada lagi kala itu. Barang yang dapat dijualpun nihil. Pengobatan dari segala macam tabib tak membuahkan hasil. Apa daya, aku hanya bisa terbaring di rumah dekat perapian dengan bermodalkan obat-obat dari tanaman-tanaman hutan yang disarankan orang-orang. Belum lagi saudara-saudaramu yang sudah sekolah di kota perlu uang, dan kami tak mau mereka sampai putus sekolah.

Tak tahan dengan semua kondisi ini, kusarankan ayahmu mencari pinjaman ke keluarga pamanmu, abangnya. Ia termasuk yang paling sukses di antara mereka semua. Lulusan sarjana, seorang pegawai negeri. Pastilah beruang. Dengan berat hati, sebenarnya tak ingin dianggap mengemis, ayahmu pergi juga. Jauh ke kota, harus menyeberangi danau dilanjutkan dengan bus. Memakan waktu seharian penuh jika pulang hari. Kutunggui ayahmu hingga malam larut. Lagipula aku tak bisa tidur akibat gatal di badan. Selepas tengah malam, ia tiba di rumah. Masih terbayang wajah lesunya ketika menyandarkan bahu di tiang di tengah rumah. “Tidak ada,” katanya singkat. Aku tak mau memperpanjang lagi. Hatiku remuk waktu itu. Sedih, pilu, campur aduk. Tapi aku tahu ayahmu lebih hancur lagi. Merasa tertolak. Bagiku ujian itu teramat berat. Tapi ayahmu itu orang berhati teguh. Keteguhan iman dan doa-doanya jualah yang hingga kini kuimani membuatku tetap berpengharapan. Dan sekali lagi, toh penyakit itu sembuh juga.”

Itu kudapat dari ceritamu. Yang kusaksikan sendiri dengan mataku masih banyak. Aku ingat belasan tahun yang lalu kau kembali hancur karena kehilangan putri pertamamu, kakak kami, dalam sebuah kecelakaan kapal di Dumai. Anak yang beberapa tahun telah membantu meringankan bebanmu lewat sedikit kiriman tiap bulan yang kau terima lewat pos. Anak yang kau harapkan akan menjadi panutan bagi kami. Tapi Tuhan mengambilnya darimu. Momen itu menjadi yang pertama bagiku melihat tangis ayah pecah dan kau menjerit tak karuan. Mungkin itu adalah yang paling memorak-porandakan jiwanya. Lagi, luka itu kau balut sendiri sampai waktu mengeringkannya hingga sembuh meski berbekas.

Tak lama kemudian kaupun mendapati kabar bahwa saudara lelakimu gulung tikar, rugi, bangkrut ketika dagangannya yang konon sempat sukses itu berada di tangan saudara-saudaraku, anak-anakmu. Banyak orang mencibirmu karenanya. Menyalahkanmu. Apalagi adik perempuanmu yang tinggal tak jauh dari rumah kita. Ia selalu menganggap bahwa kau turut berperan dalam kerugian itu. Menganggap bahwa kau yang paling banyak menikmati hasil dagangan itu. Ia tak pernah tahu, kau harus merelakan sedikit emas yang bertahun-tahun kau tabung, demi menyelamatkan usaha itu. Dan beberapa tahun yang lalu, adik lelakimu itu meninggal tanpa bisa kau lihat untuk yang terakhir kalinya. Pun adikmu yang perempuan masih saja memusuhimu sampai detik ini. Sungguh, relasi yang sangat menyedihkan antara kalian bertiga: sedarah namun tak sehati. Tapi biarlah, kau terlalu baik untuk mengalah lagi dengan adikmu itu. Dia terlalu sering menyakitimu.

Deritamu memang tiada habis. Tidak sedikit orang mamandang keluarga kita rendah. Mungkin karena berlatar miskin itu. Wajar jika kau lekas menua. Guratan di wajahmu dan ayah adalah baris-baris cerita yang babakannya telah kalian lewati dengan ketabahan yang akan kusanjung sampai ke langit.

Itulah yang membuatku bertahan. Pengalaman pahitmu, sakitmu, deritamu. Seakan cambuk bagiku untuk terus melompati rintangan-rintangan yang tak seberapa ini. Merasa tak berhak menyerah ketika beberapa tahun yang lalu sekolahku terhenti karena tidak lagi ada kiriman. Kukerjakan apa yang bisa kukerjakan, sekalipun harus tidur di kolong jembatan. Kegetiran hidupmu menamparku tiap kali aku nyaris putus asa.

Aku ingin mengangkatmu. Menempatkan namamu sedikit lebih tinggi. Dunia harus tahu, bahwa anak-anakmu telah belajar dari luka-lukamu. Dan hari ini kau dan ayah berada di kota yang dibicarakan banyak orang ini. Kota penuh gedung, kendaraan dan manusia. Jakarta.

***

Aku kembali memandangi kalian berdua. Kau dengan kebayamu yang sedikit kedodoran –mungkin karena tubuhmu yang kian kurus, rambut yang tinggal sejumput dan hampir semua memutih, bibir pucat tanpa gincu. Ayah yang tenaganya sudah sangat banyak berkurang, rambutnya pun memutih sama sepertimu. Tapi satu yang mencolok: pancaran di mata itu. Kilau seperti kristal. Mungkin kau tak percaya tengah berada disini, di sebuah gedung besar nan megah, di sebuah universitas ternama di negeri ini. Kau amat-amati topi segi lima di kepalaku berpita merah menjuntai ke depan, baju panjang hitam berkerah kuning dengan dua garis merah di lengannya.

Mungkin dulu kau tak pernah dan tak berani bermimpi sampai sejauh ini, Bu. Tapi bagiku ini masih awal. Awal untuk mengumpulkan serpihan-serpihan hatimu yang berulangkali dihancurkan dunia ini. Dan memberi kesejukan di senjamu, meski tak mungkin kukutipi keringatmu yang sejak dulu bercucuran untukku, untuk kami, untuk hidup. Kau harus bahagia. Juga ayah.

*Cerpen ini saya dedikasikan untuk kakak lelaki saya: Judika Gultom. Berlakulah adil dalam setiap aktivitasmu, khususnya profesi baru yang telah kau pilih, Lawyer. Hakekat hidup ini adalah seberapa bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang, bukan soal uang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun