Mohon tunggu...
Monique Rijkers
Monique Rijkers Mohon Tunggu... profesional -

only by His grace, only for His glory| Founder Hadassah of Indonesia |Inisiator Tolerance Film Festival |Freelance Journalist |Ghostwriter |Traveler

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teladan Sibuk Kerja Petani Merangkap Kuli Bangunan

1 Mei 2018   14:00 Diperbarui: 1 Mei 2018   14:41 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Yahya (kiri), suami saya dan Warijan (kanan)

Namanya Warijan. Ia adalah contoh buruh yang sibuk kerja tanpa sempat berurusan dengan politik. Warijan adalah tukang langganan yang sudah bolak-balik datang memperbaiki rumah kami. Minggu kemarin, Warijan kembali datang untuk perbaikan rumah kami setelah pengontrak selesai menempati dan rumah jadi rusak. Kali ini anak sulungnya, Yahya Arruman ikut serta.

Warijan sebenarnya bukan tukang, sejatinya ia adalah petani. Tetapi sejak kelas 4 SD ia sudah ke Jakarta, ikutan menjadi kuli bangunan sehingga ia mahir dalam membangun rumah karena pengalaman bertahun-tahun. Ia sering mendapat pekerjaan di Jakarta, pernah juga membangun rumah di Makassar dan Sumbawa. Proyek pembangunan rumah terakhirnya adalah rumah berlantai 3 berukuran 7x25 meter di kawasan Sunter dengan total biaya proyek hampir 600 juta. "Kok mahal banget, Pak?" "Saya hitung harganya per lantai," kata Warijan.

Ohlala, jadi satu lantai ongkos tukang saja habis 200 juta. Warijan mengajak 9 orang tukang lainnya untuk membantunya. Uang hasil membangun rumah orang India itu ia habiskan untuk membeli tanah di kampungnya di Cilacap. Tanah berukuran 5x14 meter menelan dana 110 juta. Nah di sini menariknya. Warijan membeli tanah untuk menambah luas sawahnya yang berukuran 300 ubin x 14 meter (berapa tuh ya?). Saya bertanya serius kepada Warijan, "Bapak ngga nambah istri?" Pak Warijan menjawab, "Nggalah, Bu. Banyak yang abis dapat duit langsung kawin lagi. Saya ngga mau karena harus mulai dari nol lagi."

Warijan memang lebih senang bertani. Namun demi menyekolahkan kedua anaknya, ia merantau ke Jakarta untuk bekerja sebagai mandor atau kuli bangunan serabutan. Menjadi kuli bangunan ia lakukan hanya saat menunggu panen. Saat musim tanam ia tidak bisa diganggu sehingga kami terpaksa pakai jasa orang lain jika butuh tukang. Jika ia terikat kontrak pembangunan karena ikut kontraktor, maka ia mencari tenaga lepasan untuk membantu menggarap lahan sawahnya.

Upah buruh tani dibayarkan Warijan sebesar 50 ribu per hari. Saat panen, buruh padi yang membantu diberikan satu kandi padi atau seberat 50 kilogram. Warijan adalah petani yang berhasil karena satu tahun ia bisa dua kali panen padi dan di sela musim tanam padi, ia menanam kacang hijau.

Satu kali panen padi ia bisa memperoleh hasil 2 ton padi dengan harga 5,5 juta rupiah per ton, jadi dari tanam padi Warijan memperoleh 22 juta setiap tahun, jika di luar musim panen harga bisa mencapai 7 juta per ton sehingga Pak Warijan bisa dapat 28 juta setahun. Hasil tanam kacang hijau dapat 200 kilogram saban panen dan dihargai 15 ribu sekilo sehingga total pendapatan sebesar 3 juta rupiah.

Meski berprofesi sebagai petani dan tukang bangunan, Warijan mendorong anaknya untuk kuliah setinggi mungkin. Yahya yang sedang ikut membantu ayahnya merenovasi rumah kami adalah seorang sarjana ekonomi lulusan terbaik dari Universitas Wijaya Kusuma, Purwokerto.  Yahya bilang, "Bapak itu pernah omong, saya (Warijan) boleh

bodoh asal anak saya ngga boleh
arrow-10x10.png
arrow-10x10.png
bodoh." Itulah yang memotivasi Yahya untuk lulus dengan IPK 3,7.  Saat ini ia sudah diminta untuk menjadi dosen oleh kampusnya dengan syarat ia harus selesai S2.

Namun Yahya masih ingin mencoba mencari pekerjaan dulu, ia datang ke Jakarta ini membawa CV dua berkas untuk melamar pekerjaan. Saat masih menjadi mahasiswa, Sabtu-Minggu Yahya pulang ke Cilacap untuk bantu ibunya di sawah, Yahya tipe pekerja keras seperti ayahnya. Teman-teman di desa bilang, "Udah jadi mahasiswa kok masih ke sawah?" Yahya menjawab, "Daripada diem aja, mending bantu ibu ya."

Sebenarnya ia sempat kuliah di Jakarta, yakni di Universitas Pamulang kelas karyawan mengambil jurusan akutansi. Dari pagi sampai siang, Yahya bekerja di toko kaca, sore kuliah. Upah sebagai tukang potong kaca hanya 70 ribu sehari. Yahya sempat menjadi penjual kompor selama 10 bulan, sehari ia bisa menjual 4 kompor. Ulet sekali pemuda ini.

Namun ia hanya sanggup bertahan selama dua semester kuliah di Pamulang karena sempat seminggu ketinggalan kuliah akibat menemani ayahnya yang dirawat di rumah sakit karena jatuh dari lantai tiga saat membangun rumah. Warijan kala itu ikut menjadi kuli proyek pembangunan rumah sakit dekat kampus Yahya tetapi pijakan kayu tempatnya berdiri patah sehingga kepalanya bocor 16 jahitan dan beberapa paku nancep di kepala.

Ajaibnya ia selamat. Puji Tuhan. Yahya mengaku ayahnya sengaja cari proyek bangunan dekat kampus di Pamulang agar bisa menemani anaknya. Karena itu Yahya memutuskan untuk kuliah di Purwokerto agar ayahnya lebih tenang. Di Purwokerto ia tinggal di rumah paman di Ajibarang yang punya bisnis gula merah sehingga ia pun kerap membantu pamannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun