Mohon tunggu...
Monica Azaria Hadi
Monica Azaria Hadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi

-

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengenal Burnout Syndrome

16 Oktober 2021   15:19 Diperbarui: 21 Oktober 2021   08:25 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Penulis: Monica Azaria Hadi dan Arsi Extrani Larassakti

Pada masa pandemi seperti sekarang, cukup banyak masyarakat Indonesia yang mengalami burnout syndrome. Misalnya saja, tenaga kesehatan yang merupakan garda terdepan dalam penanganan pandemi COVID-19 sangat rentan mengalami burnout. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Program Studi Magister Kedokteran Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, diketahui sebanyak 83% tenaga kesehatan mengalami burnout syndrome dengan derajat sedang dan berat. Burnout syndrome tidak hanya dialami oleh tenaga kesehatan, tetapi bisa dialami oleh siapa saja. Dari polling yang diadakan oleh CNNIndonesia.com, didapatkan bahwa sebanyak 77,3% orang pernah mengalami burnout syndrome. Pada penelitian yang dilakukan oleh Muflihah dan Savira ditemukan bahwa kebanyakan mahasiswa memiliki tingkat burnout sebesar 69,1% yang termasuk dalam tingkat sedang. Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan burnout syndrome?

Pengertian burnout syndrome

Pada tahun 1970-an, Herbert Freudenberger yang merupakan seorang psikolog Amerika menciptakan istilah “burnout”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan akibat dari stres yang berat. Burnout syndrome adalah kondisi psikologis yang merupakan respons dari stres kerja yang kronis. Burnout ditandai dengan kelelahan emosional, depersonalisasi (kondisi emosional seperti mudah marah, mengalami perasaan negatif, dan bersikap dingin pada lingkungannya), sinisme (sikap negatif kepada pekerjaan yang disertai dengan hilangnya idealisme dalam bekerja), menurunnya penghargaan pada diri sendiri, dan rasa tidak mampu (Maslach, dkk., 2007; Leiter, dkk., 2009 dalam Nelma, 2019; Leiter dkk., 2014 dalam Muflihah dkk., 2021).

 

Penyebab burnout syndrome

Penyebab burnout tidak berasal dari dalam diri penderita burnout itu sendiri. Penyebab utama dari burnout adalah lingkungan kerja disfungsional yang memungkinkan terjadinya tingkat stres, frustasi, dan tekanan-tekanan yang berat dalam jangka waktu yang panjang dengan imbalan yang tidak sebanding. Pines (dalam Schaufeli dkk., 1996) mengemukakan bahwa situasi kerja yang menuntut keterlibatan emosional dapat meningkatkan risiko burnout. Etzion (1984) menjelaskan burnout sebagai ketegangan psikologis yang secara spesifik berkaitan dengan stres kronis yang dialami seseorang dari hari ke hari dan ditandai dengan keadaan kelelahan fisik, emosional, dan mental. Proses terjadinya burnout ini berjalan dengan perlahan dan tanpa disadari, sehingga seseorang dapat merasakan burnout secara tiba-tiba. Burnout akan lebih mudah terjadi pada pekerjaan di bidang jasa (human service) karena pekerjaan seperti ini sering melakukan interaksi dengan banyak orang sehingga perlu untuk melibatkan emosi dalam pekerjaannya. Terjebak di dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kelelahan fisik, emosi, dan mental dan mungkin akan menimbulkan stres kronis dan bahkan burnout pada pekerja tersebut.

Gejala burnout syndrome 

Terdapat tiga gejala utama tanda seseorang mengalami burnout, yaitu:

  1. Kelelahan

Orang yang mengalami burnout akan merasa lelah secara emosional, merasa sedih, tidak mampu mengatasi masalahnya, dan merasa tidak mempunyai energi. Gejala fisik dapat muncul seperti rasa nyeri dan masalah lambung.

  1. Keterasingan dari pekerjaan

Burnout umumnya ditandai dengan perilaku menarik diri dari pekerjaan. Orang yang mengalami burnout akan merasa pekerjaannya semakin membuatnya stres dan frustasi sehingga akan bersikap sinis terhadap kondisi kerja dan rekan kerjanya. Orang yang mengalami burnout mungkin saja akan semakin menjauhkan dirinya secara emosional dan mati rasa terhadap pekerjaannya. 

  1. Penurunan Kinerja

Burnout akan sangat memengaruhi tugas sehari-hari baik di tempat kerja, sekolah, ataupun universitas. Orang yang mengalami burnout akan memunculkan perasaan negatif terhadap tugas-tugasnya, sulit berkonsentrasi, lesu, dan menurunnya kreativitas. Burnout pada pekerja dapat terlihat melalui menurunnya produktivitas, menurunnya efektivitas kerja, menurunnya kepuasan kerja, dan menurunnya komitmen terhadap organisasi (Nelma, 2019).

Perbedaan burnout syndrome dan depresi

Jika dilihat secara sekilas gejala burnout syndrome mirip dengan gejala depresi tetapi masih ada perbedaan di antara keduanya. Pada burnout, kebanyakan masalah berasal dari pekerjaan sedangkan dalam depresi, pikiran dan perasaan negatif tidak hanya berasal dari pekerjaan tetapi berasal dari semua bidang kehidupan. Gejala khas depresi lainnya adalah tingkat percaya diri yang rendah, keputusasaan, dan munculnya pikiran untuk bunuh diri. Orang yang mengalami burnout syndrome tidak selalu mengalami depresi. Namun, burnout dapat meningkatkan risiko depresi pada seseorang.

Cara mencegah dan mengatasi burnout syndrome 

Banyak cara yang dapat dilakukan seseorang untuk mencegah terjadinya burnout, baik secara fisik maupun psikis, salah satunya dengan menjaga pola hidup sehat seperti meluangkan waktu untuk berolahraga. Olahraga dapat meningkatkan emosi positif yang dapat menjaga kesehatan mental. Selain itu, menjaga kebiasaan tidur dapat membantu tubuh untuk mengatur ulang fungsi tubuh demi menjaga kesehatan fisik maupun mental. 

Burnout dapat diatasi dengan meningkatkan efikasi diri. Efikasi diri dapat diartikan sebagai kemampuan dan keyakinan seseorang untuk menyelesaikan tanggung jawabnya agar menghasilkan tingkat kinerja tertentu sehingga dapat berpengaruh baik pada kehidupannya. Dengan begitu seseorang yang memiliki efikasi diri dapat merasakan, berpikir, dan memotivasi dirinya dalam berperilaku. Sehingga dapat membantu seseorang dalam mengatasi berbagai tekanan dan hambatan yang ditemui di tempat kerja agar dapat memperkecil stres dan dapat mencegah timbulnya burnout.

Seseorang yang mengalami burnout juga penting untuk membuka diri. Dalam artian selama berada dalam masa stres, penting untuk menumbuhkan relasi yang baik dengan keluarga serta teman-teman yang ada dalam lingkungan agar dapat membantu keadaan atau masa-masa sulit orang tersebut.

Kesimpulan

Burnout syndrome merupakan kondisi psikologis yang ditandai dengan kelelahan emosional, depersonalisasi, sinisme, menurunnya penghargaan diri, dan rasa tidak mampu sebagai respon dari stres kerja yang kronis. Penyebab utama dari burnout adalah lingkungan kerja disfungsional sehingga menimbulkan kelelahan, perasaan keterasingan dari pekerjaan, dan penurunan kinerja. Burnout dapat dicegah dan diatasi dengan menerapkan pola hidup sehat, meningkatkan efikasi diri, dan terbuka dengan orang lain. 

 

Daftar pustaka

Humas FKUI. (2020, September 14). 83% Tenaga Kesehatan Indonesia Mengalami Burnout Syndrome Derajat Sedang dan Berat Selama Masa Pandemi COVID-19 [Berita]. fk.ui.ac.id. fk.ui.ac.id

InformedHealth.org [Internet]. (2020, Juni 18). Depression: What is burnout? www.ncbi.nlm.nih.gov. www.ncbi.nlm.nih.gov

Lailani, F., Edy, P., & Nurdiana, F. (2005). Burnout dan Pentingnya Manajemen Beban Kerja. BENEFIT, 9(1), 92-93.

Muflihah, L., & Savira, S. I. (2021). Pengaruh persepsi dukungan sosial terhadap burnout akademik selama pandemi. Character : Jurnal Penelitian Psikologi, 08(02), 201–211.

Nelma, H. (2019). Gambaran burnout pada profesional kesehatan mental. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Pengembangan SDM, 8(1), 12–27.

Tawale, E. N., Budi, W., & Nurcholis, G. (2011). Hubungan antara motivasi kerja perawat dengan kecenderungan mengalami burnout pada perawat di RSUD Serui–Papua. INSAN, 13(02), 74–84.

Tim CNN Indonesia. (2021, Agustus 22). Survei: Mayoritas Netizen Burnout Gara-gara Pekerjaan. cnnindonesia.com. www.cnnindonesia.com

Ulfa, S., & Aprianti, M. (2021). Pengaruh efikasi diri terhadap burnout dan perbedaanya berdasarkan gender (studi empiris pada mahasiswa fakultas psikologi). Psychosophia, 3(1), 24–35. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun