oleh: M
Di pinggir perkotaan mahakam, berdirilah sebuah sekolah negeri dengan jumlah siswa yang terbilang banyak untuk sekolah kecil, meski begitu anak-anak yang tinggal di sekitarnya sangat antusias untuk ke sekolah. Selain jaraknya yang cukup dekat, jajanannya pun sangat bersahabat dikantong.
Di sekolah yang cukup asri itu, di pimpin oleh seorang kepala sekolah wanita bernama Ibu Ani adalah kepala sekolah yang paling di segani oleh guru-guru. Ia merupakan pejabat senior yang telah lama wara-wiri didunia pendidikan, dari swasta sampai ke sekolah negeri sudah ia rasakan. Pengalamannya pun sangat memumpuni mulai dari wali kelas hingga diangkat menjadi kepala sekolah. Berkat kecerdikanya dalam "mengelola dana operasional sekolah" yang diperuntukan untuk sekolah dikelola dengan baik sesuai dengan keperluan sekolah. Alias tidak di salah gunakan, karena baginya menjadi pemimpin adalah amanah dari tuhan yang tidak baik jika digunakan tidak pada tempatnya.
Namun, ada yang berbeda dengan kepemimpinannya kali ini. 4 tahun ai arungi bersama sekolah tersebut tanpa laporan tanpa hambatan baik sarana dan prasarananya ataupun administrasinya, semunya berjalan dengan lancar. Pagi itu, pukul 8 pagi di saat proses belajar mengajar telah dimulai setelah apel pagi. Di meja kantornya, Ibu Ani duduk dengan raut wajah yang sedikit tegang tak seperti biasanya. Tangannya sibuk memegang ponsel, sementara badanya kesana kemari seperti ada yang dipikirkan.
Tepat Ibu Ani keluar dari ruangannya, "Ibu Ani, Ibu kelihatan seperti sedang ada masalah," ujar seorang guru, Bu Imah, yang pada saat itu sedang santai di ruangan kantor sembari menunggu pergantian jam pelajaran.
"Ah, Imah, kamu tidak tahu saja kesibukan Ibu setiap hari bagaimana," kata Ibu Ani dengan suara sedikit berat.
"Ada apa, Ibu? karena raut wajah Ibu tak mencerminkan seperti apa yang ibu katakan". Tanya Bu Imah sambil menyelidik lebih jauh jawaban yang Ibu Ani katakan sebelumnya.
Ibu Ani menggeleng. "Bukan soal anak-anak. Ibu... Ibu mengalami Tuntutan Ganti Rugi (TGR)" nada bicara Ibu Ani terdengar serak.
"Tuntutan Ganti Rugi, Ibu?! Bu Imah tampak bingung dan kaget.
Dengan nada suara yang sedikit berat, akhirnya Ibu Ani menceritakan masalah yang membuatnya sulit tidur dan bahkan membuat kesehatannya terganggu.
"Ya. Tepat dua pekan lalu, Ibu mendapat laporan dana BOS dari Badan Pemeriksa Keungan yang didalamnya tentang tuntutan ganti rugi terhadap dana yang silahgunakan, dana yang di maksud di sini adalah pemberian upah kepada tenaga honorer yang sudah terangkat menjadi pegawai negeri sipil, Imah.
Bu Imah yang dari tadi menyimak pembicaraan Ibu Ani terbatuk mendengar kata "ganti rugi" keluar dari mulut Ibu Ani. Ini pasti lelucon, pikirnya. Tapi raut wajah Ibu Ani tetap tegang dan serius.
"Ibu Ani... Apakah Ibu sedang bercanda?"
"Tidak, Imah. Ibu menceritakan ini tanpa dibuat-buat."
Bu Imah menatapnya dengan kaget. Bertahun-tahun menjadi teman kerja Ibu Ani, ia tahu betapa dalamnya pengabdian wanita 52 tahun ini bekerja sepenuh hati dalam membangun sekolah agar lebih baik tanpa ada kekurangan fasilitas apapun. Bagaimana mungkin seseorang seperti Ibu Ani tiba-tiba melakukan hal yang tidak pernah dilakukannya.
"Jelas Ibu harus mengganti uang tersebut meski Ibu tidak pernah menggunakan uang tersebut. Karena Ibu yang bertangungjawab atas pengelolaan keungan sekolah ini. Dan untuk mencari uang pengganti tersebut Ibu masih bingung mau diambil dari mana," lanjut Ibu Ani dengan suara begitu berat dan bingung.
Bu Imah merasa seperti ada kejangalan. "Ibu, mohon izin kalau boleh saya tanya, apa yang yang sebenarnya terjadi, kenapa sampai Ibu harus mengganti uang yang tidak pernah Ibu pakai sama sekali, sedangkan Ibu adalah orang yang paling takut jika berbicara soal pengelolaan keungan sekolah?
"Sebenarnya saya sudah salah sejak dari awal tidak berpikir jernih tentang pengelolaan keuangan untuk upah tenaga honor. Harusnya tenaga honor yang statusnya sudah berubah dari honor ke pegawai negeri sipil sudah saya hentikan upah gajinya yang saya ambil dari bantuan operasional sekolah. Namun hal itu tidak saya indahkan, terlelap dan akhirnya resiko besar itu saya tanggung sendiri. Saya ingin menyelesaikan semuanya dengan baik-baik tanpa ada lagi orang yang merasa dirugikan," lanjut Ibu Ani dengan suara yang begitu berat.
Bu Imah merasa yang berbicara denganya bukan Ibu Ani yang dia kenal, apalagi Ibu Ani sendiri adalah sosok yang sangat takut jika bersingungan dengan masalah uang dan Ibu pasti akan meluruskan sampai ke akarnya jika hal tersebut tidak sesuai dengan kebenaran yang ada. "Ibu, kalau boleh saya tanya kembali, apa yang membuat Ibu menyerah dengan prinsip yang selama ini Ibu pegang dan tidak meminta ganti rugi kepada mantan tenaga honor tersebut ?"
Ibu Ani tersenyum tipis. "Imah, sejak saya diambil sumpah menjadi seorang guru hingga menjadi kepala sekolah detik ini, saya sudah berjanji bahwa jika nanti saya menemui masalah dalam pekerjaan akan saya selesaikan dengan kepala dingin dan jalan keluar yang tidak merugikan orang lain. Meski saya tahu itu berat, apalagi kasus yang menimpa saya kali ini tentang Integritas. Dan mantan tenaga honor yang sudah menerima upah tersebut sudah saya hubungi berkali-kali tapi dia tidak pernah merespon sekalipun chatting ataupun televon dari saya, saya sudah berusaha semampunya tapi tetap tidak ada hasil. Karena bagi saya, kita hidup hanya satu kali di dunia ini. Saya sudah tua. Sudah saatnya saya istirahat dari hiruk pikuk dunia pendidikan. Saya tidak mau mati dengan dosa sebanyak ini. Lagipula, uang dan jabatan yang saya miliki selama ini hanyalah titipan... sejujurnya tidak pernah membuat saya bahagia, justru hanyalah ketakutan dan rasa was-was. Karena bagi saya semua itu hanyalah titipan."
Bu Imah mencoba menahan tangisnya, tapi ia tidak bisa. Akhirnya, ia menangis dengan derai air mata yang tidak bisa dibendung. "Ibu, apa yang ibu ceritakan membuat saya tersadarkan, apalagi ketika berbicara soal tanggung jawab dan amanah yang nilainya sangat mahal. Semuanya hanyalah titipan yang sewaktu-waktu bisa hilang. Apalagi saya tahu Ibu orang yang penakut jika berbicara soal keungan, yang akhirnya dari ketakutan itu justru membawa malapataka dalam jabatan Ibu. Lalu, apakah Ibu sudah ikhlas dengan apa yang dilakukan oleh mantan tenaga honor tersebut kepada Ibu?"
Ibu Ani menatap Bu Imah dengan senyuman tipis. "Soal itu, saya sudah ikhlas Imah. Saya percaya bahwa setiap keburukan yang orang lain lakukan terhadap kita ada waktunya tuhan yang akan membalasnya. Karena bagi saya, setiap manusia tidak selamanya di atas terus. Dunia berputar."
#mariterusbelajar
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI