"Ya. Tepat dua pekan lalu, Ibu mendapat laporan dana BOS dari Badan Pemeriksa Keungan yang didalamnya tentang tuntutan ganti rugi terhadap dana yang silahgunakan, dana yang di maksud di sini adalah pemberian upah kepada tenaga honorer yang sudah terangkat menjadi pegawai negeri sipil, Imah.
Bu Imah yang dari tadi menyimak pembicaraan Ibu Ani terbatuk mendengar kata "ganti rugi" keluar dari mulut Ibu Ani. Ini pasti lelucon, pikirnya. Tapi raut wajah Ibu Ani tetap tegang dan serius.
"Ibu Ani... Apakah Ibu sedang bercanda?"
"Tidak, Imah. Ibu menceritakan ini tanpa dibuat-buat."
Bu Imah menatapnya dengan kaget. Bertahun-tahun menjadi teman kerja Ibu Ani, ia tahu betapa dalamnya pengabdian wanita 52 tahun ini bekerja sepenuh hati dalam membangun sekolah agar lebih baik tanpa ada kekurangan fasilitas apapun. Bagaimana mungkin seseorang seperti Ibu Ani tiba-tiba melakukan hal yang tidak pernah dilakukannya.
"Jelas Ibu harus mengganti uang tersebut meski Ibu tidak pernah menggunakan uang tersebut. Karena Ibu yang bertangungjawab atas pengelolaan keungan sekolah ini. Dan untuk mencari uang pengganti tersebut Ibu masih bingung mau diambil dari mana," lanjut Ibu Ani dengan suara begitu berat dan bingung.
Bu Imah merasa seperti ada kejangalan. "Ibu, mohon izin kalau boleh saya tanya, apa yang yang sebenarnya terjadi, kenapa sampai Ibu harus mengganti uang yang tidak pernah Ibu pakai sama sekali, sedangkan Ibu adalah orang yang paling takut jika berbicara soal pengelolaan keungan sekolah?
"Sebenarnya saya sudah salah sejak dari awal tidak berpikir jernih tentang pengelolaan keuangan untuk upah tenaga honor. Harusnya tenaga honor yang statusnya sudah berubah dari honor ke pegawai negeri sipil sudah saya hentikan upah gajinya yang saya ambil dari bantuan operasional sekolah. Namun hal itu tidak saya indahkan, terlelap dan akhirnya resiko besar itu saya tanggung sendiri. Saya ingin menyelesaikan semuanya dengan baik-baik tanpa ada lagi orang yang merasa dirugikan," lanjut Ibu Ani dengan suara yang begitu berat.
Bu Imah merasa yang berbicara denganya bukan Ibu Ani yang dia kenal, apalagi Ibu Ani sendiri adalah sosok yang sangat takut jika bersingungan dengan masalah uang dan Ibu pasti akan meluruskan sampai ke akarnya jika hal tersebut tidak sesuai dengan kebenaran yang ada. "Ibu, kalau boleh saya tanya kembali, apa yang membuat Ibu menyerah dengan prinsip yang selama ini Ibu pegang dan tidak meminta ganti rugi kepada mantan tenaga honor tersebut ?"
Ibu Ani tersenyum tipis. "Imah, sejak saya diambil sumpah menjadi seorang guru hingga menjadi kepala sekolah detik ini, saya sudah berjanji bahwa jika nanti saya menemui masalah dalam pekerjaan akan saya selesaikan dengan kepala dingin dan jalan keluar yang tidak merugikan orang lain. Meski saya tahu itu berat, apalagi kasus yang menimpa saya kali ini tentang Integritas. Dan mantan tenaga honor yang sudah menerima upah tersebut sudah saya hubungi berkali-kali tapi dia tidak pernah merespon sekalipun chatting ataupun televon dari saya, saya sudah berusaha semampunya tapi tetap tidak ada hasil. Karena bagi saya, kita hidup hanya satu kali di dunia ini. Saya sudah tua. Sudah saatnya saya istirahat dari hiruk pikuk dunia pendidikan. Saya tidak mau mati dengan dosa sebanyak ini. Lagipula, uang dan jabatan yang saya miliki selama ini hanyalah titipan... sejujurnya tidak pernah membuat saya bahagia, justru hanyalah ketakutan dan rasa was-was. Karena bagi saya semua itu hanyalah titipan."
Bu Imah mencoba menahan tangisnya, tapi ia tidak bisa. Akhirnya, ia menangis dengan derai air mata yang tidak bisa dibendung. "Ibu, apa yang ibu ceritakan membuat saya tersadarkan, apalagi ketika berbicara soal tanggung jawab dan amanah yang nilainya sangat mahal. Semuanya hanyalah titipan yang sewaktu-waktu bisa hilang. Apalagi saya tahu Ibu orang yang penakut jika berbicara soal keungan, yang akhirnya dari ketakutan itu justru membawa malapataka dalam jabatan Ibu. Lalu, apakah Ibu sudah ikhlas dengan apa yang dilakukan oleh mantan tenaga honor tersebut kepada Ibu?"